22.

3.7K 375 183
                                    

pertama-tama adalah,

apakah tidak menangis :"
rosé anaknya thoughtful banget
jadi pengen temenan















Rosean POV



"Dek jangan ketiduran,"

"H-hah ng-nggak kok, Bik" seketika gue gelapan plus merasa malu. Bisa-bisanya ketiduran di saat kayak gini pun si Ibu, yang kata Mbak Bita dipanggil Bibik aja, mengulum senyum melihat reaksi gue. Senyum yang menyiratkan 'ah masa?' dan gue pun cuma bisa meringis. Literally tambah malu.

"Begadang ya semalam?"

"Eh nggg..."

"Ndak apo. Wajar. Nikmati aja deg-degannya" kata si Bibik sambil, lagi-lagi, mengulum senyum. Yang kali ini, gue tahu itu senyum mafhum maka daripada ngerasa defensif, gue memilih ikut tersenyum. Lagian Bibik bener, semalam gue emang nggak bisa tidur...

Huffttttt,

gue memandang diri gue di cermin dan menyadari betapa Bibik memberi banyak perubahan di wajah gue. Alis yang on point, bulu mata, bibir merah, literally full make-up yang sama sekali bukan gue but, strangely, I like it. Mengingatkan gue ke momen didandani Mama waktu ikut parade tujuh belasan. Semeriah dan semerasa-paling-cantik itu.

Nggak nyangka kan Ci, euforia kayak gitu bisa lo rasain lagi?

Bener kata Cica, Allah itu pada akhirnya adalah maha baik yang baiiikkk banget karena setelah yang gue lalui, Dia literally nggak cuma ngasih waktu tapi juga Jefrian: the silliest man I ever met but honestly, I won't complain. Maybe never as his silliness, careless, reckless and bunch of -ess' that Ian has, literally semua hal menyebalkan itu, itu yang bikin gue merasakan euforia sekarang ini. Sesuatu yang besar, ruah, dan membuncah, yang gue pikir nggak akan pernah gue rasain.

"Ci, aku bakal marah kalo itu kamu bikin bercandaan" kata Ian waktu itu, waktu nemenin gue cuci piring dan dia makan kacang. Pun sejak kita ketemu lagi, dia jadi lebih kalem as dia mengubah panggilan kami jadi aku-kamu.

Agak geli ya.

Waktu itu adalah dua bulan yang lalu, waktu gue pulang ke Indonesia yang kebetulan bertepatan sama idul adha. Gue nggak ngerti apa yang Ian lakuin selama gue di Jerman tapi kayaknya keluarga gue udah ce-es banget sama dia bahkan segala barbeque-an ala-ala, dia  diundang. Dan mungkin dengan cara yang sama yang dia lakuin ke keluarga gue, pada akhirnya gue berani ngomongin topik yang Ian peringati dengan: aku bakal marah kalo itu kamu bikin bercandaan.

Nyatanya, waktu itu gue nggak bercanda.

Dua tahun di Jerman, Ian nggak pernah benar-benar menghubungi gue pun gue nggak keberatan. Justru gue seneng kalau dia pelan-pelan lupa sama gue. Presensi Ian dan demand-nya benar-benar sempat mendistraksi gue makanya gue, semakin Ian ngeyel semakin juga gue pengen buru-buru balik Jerman. Apa ya? Gue literally takut kehilangan diri gue yang bahkan belum lama gue temuin. Gue takut kehilangan value terus bikin gue berpikiran kayak gini,

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang