I did double update, so please check the another one before ya ;)
Then, I know it's kinda lame but this is how I portray this story. So bear with me, hehe
Anw, makasi uda baca ya. You gave me blast ✨✨✨
[]
"Lo kemarin berantem ya sama Mama?"
Jefri, yang awalnya fokus liat hape, jadi beralih menatap kakak perempuannya yang baru keluar dari dapur. Membawa segelas sirup dan menghampiri dia.
"Sotoy lo" jawab Jefri akhirnya sebelum kembali fokus ke hape lagi. Tsabita cuma melengos.
"Sotoy pala lo botak," Tsbita menjeda seraya mendudukkan diri di serong kiri Jefri. "Jinny yang bilang katanya kemarin lo pake bentak Mama segala"
"Halah anak kecil tau apa. Jangan didengerin" balas Jefri sekenanya, merujuk pada adik perempuannya yang baru kelas 2 SMA.
"Lo yang tau apa, segala bentak Mama lagi. Jadi Malin Kundang tau rasa lo" sergah Tsabita dan Jefri mendecak keras.
"Ini kalo tujuan lo nyuruh gue kesini cuma buat nyeramahin gue, mending gue balik" hardik Jefri sengit pun membuat mereka, Tsabita dan Jefrian, jadi bertatapan. Gurat emosi jelas nampak di raut Jefri tapi Tsabita justru melunak. Sedikit banyak dia tahu tentang persinggungan Mama dan adik laki-lakinya.
Tsabita menghela nafas dan memutus kontak mata mereka.
"Pundungan lo kayak anak kecil" kata Tsabita setelahnya. "Gue mau pergi arisan tapi Elea masih tidur. Lo jagain dia, terus ntar kalo bangun mandiin sekalian"
"Hm" jawab Jefri seadanya bahkan tanpa memandang kakaknya itu.
Sebenarnya Jefri cukup paham kalau Tsabita menyuruh ke rumah, berarti urusannya nggak jauh-jauh dari jagain Elea. Pun Jefri nggak keberatan karena satu, Elea keponakannya. Dua, Elea cantik dan nggak rewel. Tiga, Jefri suka anak kecil. Empat, Jefri sedang tidak mau di rumah. Keributan dengan Mama kemarin memang sedikit banyak membuat hatinya tidak enak. Maka, ketika tadi Tsabita mengungkitnya, tentu Jefri benar-benar enggan. Pun hati Jefri makin nggak enak dengan fakta yang sempat Tsabita katakan: dia membentak Mama. Seumur-umur setelah lulus SD, Jefri belum pernah membentak Mama lagi setelah yang terakhir karena salah potong rambut,
"Tapi aku nggak suka! Mama potong sembarangan!!"
Ah, sekelebat ingatan itu justru makin membuat Jefri uneasy. He feels burden yet too arrogant to admit. Jefri pikir Mamanya juga terlalu memaksakan kehendak maka meminta maaf bukan opsi terbaik untuk menyelesaikan masalah itu.
"Lo sejak kapan sih Yan jadi segede ini?" seloroh Tsabita tiba-tiba yang sontak bikin Jefri mengernyit. Pun saat bertemu tatap, kakaknya itu justru sedang lekat memperhatikannya bahkan menumpukan tangan ke bantalan sofa segala. Bikin Jefri jadi makin mengernyit.
"Apaan sih lo?"
"Dulu tuh ya, lo kalo duduk di sofa gini," Tsabita justru melanjutkan sambil menunjuk posisi duduk Jefri. "Kakinya ngegantung nggak nyampe lantai, eh sekarang udah bisa nyilang kayak gini"
"Aduh! Apaan sih??" Jefri mendengus seiring Tsabita yang tiba-tiba memukul kakinya. Keras. Iya, keras. Tsabita kalau mukul Jefri emang nggak pernah bercanda.
"Turunin, lo kira rumah gue warkop?!" sentak Tsabita dengan nada ngomel. Bikin Jefri cuma mendengus sambil menurunkan kaki dan merapikan duduknya. Semacam adik kecil yang baik. Diam-diam Tsabita senyum melihat itu.
"Denger ya Yan, mau lo segede apa, gue itu tetep tiga tahun lebih dulu makan nasi daripada lo. Jadi jangan seenaknya"
"Hm iya, yang tiga tahun lebih dulu makan nasi daripada gue" jawab Jefri, menanggapi celotehan kakaknya dengan kalimat yang sama, yang tadi Tsabita ucapkan. Kalimat andalan Tsabita yang Jefri hafal banget. Iyalah hafal soalnya kalimat itu kayak jadi pembenarannya Tsabita biar bisa ngomelin atau nyuruh-nyuruh Jefri. Pokoknya tiap berdebat, kalimat itu selalu muncul pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
raison d'être ✓
General Fictionlovers don't finally meet somewhere. they're in each other all along -rumi [jaehyun au]