5.

1.9K 394 86
                                    

Jefri melihat nomor 72 di dinding pagar kemudian bernafas lega.

"Akhirnya ketemu juga" katanya sambil asal menstandarkan motor sebelum berdiri dan akhirnya celingak celinguk di depan pagar.

Lah ini belnya mana? batinnya.

Jadi rumah berpagar hitam itu memang asing untuk Jefri apalagi seumur-umur dia belum pernah main ke kompleks itu. Makanya tadi sempat nyasar dimana yang harusnya nomor 72 malah jadi 108. Jauh banget emang tapi itu semua gara-gara clue dari Mama yang nggak jelas.

"Rumahnya yang pager item ada pohon mangganya"

Tuh, clue-nya Mama tadi cuma gitu doang. Ya mana mungkin ketemu kalau hampir semua rumah di kompleks ini catnya putih? Untung ibu-ibu di rumah 108 tadi baik dan ngasih tahu Jefri rumah yang dia maksud bahkan nyaris mau nganterin.

"Nggak apa-apa saya anterin ke rumahnya Bu Retno. Saya juga ada perlu. Tapi boncengin ya"

Lah. Jefri cuma bisa menolak dengan senyuman.

Rumah Bu Retno, atau kalau Mama bilang rumahnya Dek Retno. Mamanya Oci dan iya, rumah yang Jefri cari memang rumah Oci. Bukan apa-apa tapi Jefri disuruh anter apalah, entah bolu atau brownies, sebagai ucapan terimakasih karena kemarin, pas pengajian, Tante Retno udah repot-repot bikin dan antar kue. Tapi sebenarnya, Jefri tadi sempat heran dengan, kenapa dia yang harus antar padahal Jeno aja di rumah? Tapi Jefri nggak mau ribet-ribet berspekulasi karena dia harus buruan ke kantor sebelum jam sebelas tapi ini bel rumahanya mana?? Dari tadi dicelingak-celingukin tapi nggak ketemu juga. Masa' iya dia harus teriak?

"Ociiiii. Ajiiiii" teriak Jefri akhirnya karena dia nggak punya pilihan lain. Dia nggak mungkin berdiri disitu lebih dari sepuluh menit karena kalau iya berarti dia bakal telat ke kantor dan kedua, dia bakal kayak orang bego.

"Ci-iiiiii, Ociiiiii" entahlah tapi lama-lama Jefri malu sendiri karena rasanya kayak anak TK ngajak main. Bahkan dulu, waktu masih tetanggan, dia nggak pernah ngajak Oci main dengan cara kayak gitu. Maka Jefri bertekad kalau diseruan ketiga tidak ada yang muncul, maka dia akan pergi dan bawa kuenya ke kantor.

"Aj-" Jefri baru mau meneriakkan nama Aji, adiknya Oci, sebagai seruan terakhir sebelum Jefri melihat pintu rumah dibuka. Menampakkan perempuan dengan mukena yang tampak tergesa-gesa ke teras sambil bilang,

"Iyaaaa. Sebentar"

Pun akhirnya, di rentang lima menit terakhir, Jefri merasa lega untuk kedua kalinya. Akhirnya yang punya rumah muncul juga.

"Ci," sapa Jefri begitu Oci menghampiri dan membukakan pagar untuknya. Pun dari rautnya keliatan kalau Oci keheranan.

"Iyan?" katanya sambil sedikit menautkan alis. "Ngapain?"

"Sorry tadi teriak-teriak soalnya gue nggak nemu belnya" kata Jefri sambil menggaruk tengkuknya.

"Iya nggak apa-apa tapi incase lo kesini lagi, bel rumah gue disini" kata Oci dan dia menunjuk ke sisi samping tembok pagar yang tadi nggak diperhatikan Jefri. Dan disitu, di depan mukanya, terpampang bel rumah dengan tulisan 'BEL' segede gaban. Kontan Jefri makin merunduk dan menggaruk segala tengkuk sampai pelipis. Malu. Malu banget.

"T-tadi gue nggak liatlah. Orang disamping gitu" Jefri dan defensivitasnya, pada Oci yang bahkan masih berdiri clueless disana.

"Iya iya," pun Oci menjawabi itu dengan nada mengalah. "belnya emang agak disembunyiin, sengaja. Soalnya kalo ditaruh depan tuh suka dimainan anak kecil" tambah Oci seraya melirik tas karton di tangan Jefri.

"Oiya, ada perlu apa, Yan?"

"Oh iya, nih" Jefri segera mengangsurkan paper bag di tangannya. "dari mama gue"

raison d'être ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang