Chapter 41

203 24 44
                                    

"Sekarang kau yang menjual kanebo kering?" Aera adalah yang pertama kali menemukan suara setelah hening sepanjang jalan, Jeno mendadak berubah menjadi ikan mati yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun, beruntung ia tak mengapung.

Mereka berjalan santai menuju kediaman masing-masing. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, terasa cukup santai untuk menyiksa diri dengan cuaca dingin.

Lelaki itu menghela napas dalam setelah menyesap kopi hangat dalam cup. "Tidak," jawabnya seperti berbisik.

"Kau tidak mengatakan itu," cicit Aera pelan, merasa bersalah juga sebenarnya. "Maksudku, kau tidak bilang menyewa bioskop untuk kita berdua, jadi aku mengajak anak-anak, lagi pula mereka kan temanmu."

Ah benar, Jeno baru saja menghabiskan banyak uang untuk menikmati sesuatu yang menakutkan di bioskop, kemudian semua berubah menjadi lawakan ketika Lucas, Haechan dan anak-anak lainnya datang.

Dia ingat tidak pernah mengundang manusia-manusia itu untuk menonton bersama, tetapi setelah penjelasan Aera bahwa gadis itulah yang mengajak teman-temannya membuat Jeno mati gaya. Baiklah, katakan selamat tinggal pada malam yang romantis.

Jeno menoleh, membawa tatapan pada gadis yang juga menatapnya dengan mata memerah, ia sedikit kesal sebenarnya, tetapi melihat wajah Aera yang merasa sangat bersalah membuat emosi lelaki itu kembali stabil. "Hm, semua sudah terjadi, tidak apa-apa."

"Kau marah?" tanya Aera, sedikit rasa takut singgah di benaknya, dan untuk banyak hal dia merasa telah merusak sesuatu.

Jeno mengalihkan pandangan ke depan, tangan kiri ia masukkan ke dalam saku celana, sementara yang satu lagi memegang cup kopi dengan gagah, berpose menjadi sekeren mungkin. "Tidak, kita bisa melakukan di tempat lain," jawabnya tanpa ragu, terlihat sangat bangga seperti telah menyelamatkan dunia.

"Me-melakukan apa?"

Pose sok keren tergantikan dengan wajah bingung dan bodoh setelah mendengar pertanyaan yang Aera layangkan, terdengar ringan memang, tetapi apa-apaan dengan pemikiran itu. "Ti-tidak, maksudku bukan seperti yang sedang kau pikirkan."

"Memangnya aku bilang apa?"

Jeno kehilangan kata untuk diucapkan, dia kembali bertingkah misterius dan mendongak dengan sangat dramatis, menatap langit malam yang gelap tanpa taburan bintang, bahkan semesta pun ikut berkabung bersama Jeno dan malam romantisnya. Menyedihkan!

"Tidak ada bintang malam ini." Aera kembali membuka percakapan setelah hening yang lama, sebisa mungkin mencari bahan untuk dibicarakan, setidaknya sebagai permintaan maaf.

Lelaki itu tersenyum, teduh dan damai di satu waktu. "Iya, mereka malu."

"Hmm?" Aera mengangkat kedua alis, otaknya mengirimkan sebuah sinyal gombalan yang akan datang, menyiapkan fisik dan mental agar tidak memerah adalah hal jenius untuk dilakukan.

"Ada yang lebih bersinar, sangat cantik."

Oh, mungkin pembahasan ini merujuk pada ilmu alam semesta, apakah Jeno akan membicarakan tentang keberadaan Pluto atau semacamnya? "Aku tidak melihat Venus di langit."

Jeno menghentikan langkah, menatap manik indah yang memantulkan bayangan dirinya. Seulas senyum kembali terbit di wajah teduh lelaki itu. "Memang, aku tidak mengatakan Venus." Ia kembali menyesap kopi dengan pandangan bertahan pada Aera. "Mungkin mereka bersembunyi karena malu bersanding denganmu. Kau cantik malam ini."

Bibir Aera berkedut menahan senyum yang akan terbit dengan cerah, lengah sedikit pipinya langsung terbakar dengan semburat merah menyala. "Gombalan picisan," katanya acuh, berusaha memasang wajah andalan yang terlihat seperti kanebo kering.

Sweeter Than Caramel || Jeno ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang