Chapter 39

177 24 48
                                    

Rabu malam, Aera mendadak terserang darah tinggi ketika diseret ke halaman belakang kediaman Jung begitu tiba di rumah, pelakunya tak lain adalah si bungsu dari keluarga itu.

Untuk beberapa alasan, Aera senang karena bertemu kembali setelah beberapa hari menghilang, atau mungkin sengaja menghindar. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada lelaki itu, sedikit rasa kesal, juga mengaku marah. Jadi, berpura-pura sibuk melebihi siapa pun di dunia adalah cara paling cerdik untuk dilakukan.

"Jangan menjual kanebo kering."

Aera mendelik. "Aku masih marah jika kau lupa," ucapnya dengan harga diri yang tinggi.

Lelaki itu tertawa samar hingga nyaris tidak terlihat, kemudian memberikan secangkir coklat panas untuk gadis yang setia memasang wajah mengerut seperti pantat ayam. "Ya, itu sebabnya kita di sini." Dia menghela napas berat. "Meluruskan beberapa kesalahpahaman."

Aera bergeming, jemari lentiknya mengusap bibir gelas coklat panas sebelum menyesap cairan itu dalam diam, tidak ingin repot-repot mengeluarkan beberapa tenaga untuk meladeni Jeno. Sedikit kejam memang, tetapi sangat sepadan.

Mereka menikmati angin malam yang segar di depan sebuah tenda, sangat segar hingga membuat Aera sedikit menggigil di sana, lengkap dengan api unggun dan beberapa alkohol tersaji di atas meja.

Baiklah, mereka tidak benar-benar meminumnya, untuk beberapa alasan biarkan Jeno berlagak keren dengan botol-botol cairan itu, hanya sebagai pelengkap agar terlihat estetik, cantik, dan dewasa.

Baiklah, mereka tidak benar-benar meminumnya, untuk beberapa alasan biarkan Jeno berlagak keren dengan botol-botol cairan itu, hanya sebagai pelengkap agar terlihat estetik, cantik, dan dewasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ngomong ngomong pt2, gambar ini di ambil saat sore hari, ketika api cemburu —Maksudku api unggun— belum dinyalakan. Lol.


"Apa kau baik?" Jeno yang pertama mengeluarkan suara setelah hening menyelimuti, meski nyaris tersedak dengan ludah sendiri.

Aera kembali menyesap cairan coklat dan menyapu bibirnya dengan ujung lidah, membersihkan cairan manis yang menempel di sana. "Tidak lebih baik dari sekarang."

Lelaki itu menoleh, menatap wajah teman masa kecilnya yang disinari cahaya bulan, terlihat begitu lembut dan manis. "Syukurlah," gumamnya, sedikit melengkungkan bibir ke atas dengan tulus.

Hening kembali menyapa, seakan larut dalam pikiran yang menjadi begitu rumit untuk dimengerti, hingga si cantik bergumam, "Jadi?"

"Aku ... aku pergi agar semua tidak semakin rumit." Jeno mendongak, menatap langit malam dengan pikiran menerawang. "Maaf."

Aera menatapnya dengan sebuah ekspresi dingin yang menusuk kulit pucat lelaki itu. "Aku hanya tidak mengerti."

"Ini tidak masuk akal, tetapi semua yang terjadi ... aku tau dan aku berusaha untuk tidak menyeretmu terlalu jauh, aku ... takut tidak bisa mengendalikannya." Jeno menelan ludah, tiba-tiba tercekat dengan sedikit gugup dan takut ketika bibir tipis itu hendak mengeluarkan kata.

Sweeter Than Caramel || Jeno ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang