Chapter 37

201 23 39
                                    

"Kau pulang ke rumah sakit? Rumahmu di sana?"

Jeno tertawa pelan mendengar ibunya menggerutu di depan pintu, ia melepaskan sepatu dan meletakkan barang mahal itu di atas rak. "Ya ampun, Nyonya Jung terlihat seperti gadis SMA." Lelaki itu mendekat ke arah sang Ibu untuk dibawa dalam pelukan hangat.

"Kenapa tidak langsung ke rumah? Kau tidak merindukan Eomma?"

"Bukan seperti itu." Jeno menggaruk lengannya yang tidak gatal guna melancarkan fungsi otak, dia butuh itu untuk mencari sebuah alasan yang masuk akal. "Sekalian mampir sebentar, letaknya 'kan di jalan pulang."

Nyonya Jung berkacak pinggang. "Alasan."

"Ayolah, Ma. Kita sering bertemu di Chicago, ini bukan pertemuan pertama."

Untuk sesaat, wanita di sana terlihat siap meledakkan nuklir berbahaya, tetapi semuanya lenyap begitu Jeno menghadiahkan seikat lily putih yang entah berasal dari mana. "Kau belajar banyak tentang ini," ucap Nyonya Jung menahan senyum.

Lagi pula yang Jeno katakan benar adanya, ini bukan pertemua pertama mereka setelah lima tahun berlalu, sepasang ibu dan anak itu sering melepas rindu saat sang Ibu berkunjung ke tempatnya mengenyam pendidikan; fakta bahwa orang tua Nyonya Jung berada di sana juga.

"Menurun dari Appa," jawab Jeno dengan sedikit tertawa.

Nyonya Jung menatap datar, untuk sejenak ekspresinya menunjukkan raut kekesalan, tetapi dengan lembut tangan lentik itu membawa Jeno masuk ke dalam. Mereka akan melangsungkan makan malam pertama di kediaman Jung setelah lima tahun berlalu.

"Kupikir menginap di rumah sakit." Taeyong adalah yang pertama mengibarkan bendera permusuhan ketika si bungsu mendaratkan bokong di atas kursi ruang makan.

"Penyambutan yang bagus, Tuan Muda Jung."

Taeyong komat-kamit tidak jelas dengan jawaban yang Jeno layangkan, sepertinya sangat sulit untuk kakak beradik ini akur meski umur hampir menginjak kepala tiga.

"Perjalanan yang menyenangkan? Sepertinya harta karun tersembunyi berada di rumah sakit." Tuan Jung menyenggol pembahasan itu, sedikit banyak tahu tentang kisah Jeno dan Aera, ditambah hubungan baiknya dengan ayah si gadis. Sudahlah, ini seperti pendekatan berencana.

Wanita yang ada di sana menoleh ke arah si bungsu, tangan yang semula menaruh nasi ke atas piring terhenti dengan senyum jahil terpasang di wajahnya. "Apa-apaan ini, kau merona?" tanya Nyonya Jung jenaka, membuat Taeyong tertawa hingga tersedak keras.

"Ma, bukan seperti itu." Jeno menyisir rambut ke belakang dengan malu-malu, kulitnya yang pucat membuat rona merah terlihat jelas dari pipi hingga telinga, rupanya si bungsu malu digoda sang Ayah.

"Tidak apa-apa, Jeno. Itu normal, minum air putih dulu." Dengan isengnya Tuan Jung memberikan air pada si bungsu, membuat keadaan seolah Jeno benar-benar sedang gugup setengah mati sekarang.

"Jangan lupa bernapas, tidak usah malu dengan kami, Jeno." Sepertinya sifat jahil ini diturunkan dengan baik pada Taeyong, seolah Tuan Jung saja tidak cukup untuk membuat muka Jeno merah padam, lelaki ini mengipas wajah si bungsu menggunakan kedua tangan.

Jeno berteriak tidak suka, dia mengayunkan bogeman dengan acak ke udara guna menyingkirkan tangan kakak lelakinya yang masih mondar-mandir di depan wajah. "Bau kemenyan."

Taeyong melebarkan mata. "Apa-apaan? Aku mencucinya dengan deterjen."

"Hah, seperti kain lap meja."

"Hey, close your lambe!" ucap si sulung galak, bibir bawahnya maju beberapa senti dan kembali komat-kamit tidak jelas.

Nyonya Jung menghela napas dalam, entah apa yang dia idamkan saat mengandung mereka hingga melahirkan anak begini rupa. "Sudah-sudah, hentikan." Jika tidak dilerai sepertinya perseteruan ini akan berlanjut hingga perang dunia ketiga.

Sweeter Than Caramel || Jeno ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang