Bab 5

1.6K 54 1
                                    

Suasana di meja makan sungguh hangat membuat siapa saja melihat juga ingin bergabung dan makan bersama. Tidak lupa masakan ibu yang selalu menjadi juara di lidahku semakin menambah kenikmatan. Obrolan didominasi oleh bapak yang sepertinya bisa dibilang sedang mewawancarai Dewa.

Kulihat Dewa yang tampak santai dan lugas menjawab semua pertanyaan dari bapak. Sejauh ini yang kulihat dari Dewa adalah dia orang yang easy going dan aku sangat suka dengan orang seperti itu.

"Jadi kamu kerja di bidang makanan?"

"Iya pak sudah tiga tahun ini saya berkecimpung di dunia makanan."

Anggukan kepala menjadi jawaban dari bapak.

"Alasannya?"

Dewa berdeham dan membenarkan duduknya. Ku lihat sekilas dia melirikku.

"Waktu saya kecil, saya selalu senang melihat ibu memasak terlebih lagi jika ibu memasak makanan kesukaan saya. Mulai dari situ saya selalu ingin memiliki impian bisa memasak seperti ibu."

Gantian ibu yang bertanya kepada Dewa sambil menatap laki-laki itu dengan binar kagum.

"Jadi kamu kerja di bidang makanan karena impian kamu dari kecil? Wah keren banget dong ya pak. Ibu juga suka masak loh Wa. Kapan-kapan kita masak bareng." Ibu terkekeh dan ditanggapi Dewa dengan senyum manisnya...manis?

Memang dari dulu ibu juga sangat suka memasak karena waktu ibu masih kecil, nenek adalah orang yang sibuk mungkin jika disamakan dengan zaman sekarang bisa disebut sebagai wanita karir. Sehingga membuat masakan untuk anak-anak nya tidak sempat. Oleh karena itu ibu mempunyai keinginan jika esok ia menjadi orang tua, ibu tidak mau sampai anak-anak nya kelaparan.

Dan terbuktilah saat ini, saat aku mengeluh lapar kepada ibu ia langsung sigap membuat makanan dengan memanfaatkan bahan-bahan di kulkas. Jadi jangan tanya lagi seberapa penuh isi kulkas di rumahku. Tapi aku juga sangat bersyukur mempunyai ibu sehebat wonder woman.

-----

Setelah acara makan pagi selesai ibu dengan sengaja menyuruhku dan Dewa untuk mengajak Jenar bermain di taman komplek. Dewa juga hanya manggut-manggut seolah dia juga menyetujui nya. Tanpa menunggu lama, aku langsung menggendong Jenar dengan semangkuk bubur bayi di tanganku.

Ku rasakan Dewa mengekori ku dari belakang dan mensejajarkan langkahnya untuk menyusul ku. Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba Jenar merengek meminta gendongan Dewa. Dasar bocil.

"Sini biar saya aja yang gendong." Aku menyerahkan Jenar ke gendongannya.

"Kamu nggak kerja?" Dewa menatapku tanpa berkedip seperti sedang mengamati sesuatu di wajahku.

Dia berdeham, "Hari Sabtu saya free, kenapa?"

"Kamu nanti malam ada acara?" Dia bertanya dengan mata yang selalu menatapku lekat. Mungkin dia menganggap ku debu jika kedip sebentar langsung hilang.

"Enggak ada. Kamu mau ngajak aku?" Eh, dasar mulut langsung nyeplos aja.

"Iya saya mau ajak kamu. Mau?" Aku mengangguk malu padahal biasanya aku yang malu-maluin.

"Saya jemput kamu jam setengah tujuh."

Aku dan Dewa berjalan menuju taman dengan menyuapi Jenar yang sedikit susah makan. Dia baru bisa makan dengan lahap jika hanya disuapi oleh Mbak Gladhis dan Mas Rion. Mengingat Mas Rion, mas ku yang satu itu belum pulang lebih dari satu bulan mengingat dia bekerja menjadi pilot yang membuatnya tidak sempat untuk pulang.

Dulu aku mempunyai khayalan jika suatu saat mempunyai suami yang berkecimpung di dunia pesawat. Anggapanku dengan memiliki suami yang mempunyai job seperti itu terlihat sangat cool. Tapi melihat Mbak Gladhis yang terkadang sampai dirundung galau sepertinya hm...nope.

Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang