Bab 3

1.6K 59 1
                                    

Malam ini aku akan bertemu dengan dengan laki-laki itu, laki-laki yang diidam-idamkan ibu. Hatiku sungguh sangat berdebar, tidak usah ditanya lagi seberapa gugupnya aku.

Banyak sekali pikiran yang berputar-putar di kepala cantik ini, mulai dari seperti apa dia, bagaimana wajahnya, apakah dia baik, apakah hatiku sudah siap, eh.

Sebenarnya perjodohan ini tidak terlalu menyeramkan kalau saja aku sebagai orang yang terlibat dalam perjodohan siap lahir batin. Sudah aku jelaskan dari awal alasan aku enggan menerima perjodohan ini. Masih banyak hal yang ingin aku capai.

Well, sifatku memang seperti ini hanya menurut, mengangguk, mengiyakan semua hal yang dikatakan oleh orang tuaku terutama ibu. Seperti waktu aku memilih jurusan kuliah, ibu lah yang memilih dan aku mengiyakan.

Kalian semua pasti bertanya mengapa aku bersikap seperti itu, karena aku belum bisa memberikan apapun yang pantas untuk ayah dan ibu dan menurutku dengan menuruti semua keinginan mereka setidaknya itu sudah menjadi bakti seorang anak kepada orang tua.

Ku lihat semua orang sudah siap, bapak menggendong Jenar, ibu sedang membenarkan jilbabnya dibantu Mbak Gladhis dan oh ya kalian pasti bertanya dimana suami Mbak Gladhis. Ya Mas Rion--suami Mbak Gladhis bekerja sebagai pilot dan biasanya kepulangan Mas Rion tidak bisa ditebak.

"Kok malah diem disitu dek, udah siap belum?" tanya Mbak Gladhis.

"Eh, sudah mbak, ini tinggal pakai sepatu." Aku menenteng high heels berwarna abu-abu yang tingginya hanya 5 cm. C'mon, aku jarang sekali memakai ini, flat shoes adalah andalanku.

"Sudah siap semua kan? ayo nggak enak kalau sampai kita ditunggu." Semua orang bergegas keluar dan tidak lupa bapak mengunci pintu.

-----

Sampailah kami di sebuah rumah yang bisa dibilang tidak terlalu besar dengan design minimalis dan didominasi oleh warna putih yang membuat rumah ini menjadi homy. Dari dulu mempunyai rumah seperti ini adalah impianku wait! banyak sekali impian mu Kanti.

Tidak ingin berlama-lama, ayah mengajak kami untuk masuk. Dua orang paruh baya berdiri di depan pintu dengan senyuman menghiasi wajah mereka. Bisa ku tebak umur mereka sama dengan ayah dan ibu.

"Wah! Akhirnya datang juga. Kami sudah menunggu dari tadi." Ucap bapak tersebut dengan sumringah.

"Maaf yo kita telat, tadi jalanan macet. Lupa kalau ini Hari Sabtu," bapak tertawa dan menjabat tangan bapak tersebut.

"Ya sudah ayo masuk dulu, sudah masak banyak tadi aku." Ibu paruh baya tersebut menggandeng lengan ibu.

Kami pun masuk ke dalam rumah dengan interior kayu yang mendominasi. Tidak lupa terdapat banyak kaca yang membuat penerangan rumah ini jika di siang hari akan terang sekali. Good!

"Makan dulu ya, keburu dingin makanannya." Aku mengambil tempat duduk yang menghadap langsung dengan taman belakang.

Tetapi sejauh ini aku belum melihat laki-laki yang katanya akan dijodohkan dengan ku. Where is he? Jujur aku sangat penasaran seperti apa dia.

Itu tidak menjadi masalah untuk sekarang, yang terpenting aku ingin melahap makanan yang sangat menggoda iman ini. Ok aku cukup lemah dengan makanan.

"Dewa kemana mbak? Kok aku belum lihat ya," itu suara ibu dan siapa Dewa?

"Tadi dia lagi di atas mungkin sebentar lagi turun," ibu menganggukkan kepala.

"Bentar lagi Dewa turun." Ibu menepuk pundak ku. Dewa siapa? calon suamiku? sepertinya.

Selang beberapa waktu terdengar langkah kaki seseorang dan terlihat orang tersebut menarik kursi yang berhadapan denganku.

Aku mendongak dan melihat wait?! aku sepertinya tidak asing dengan wajahnya, tapi aku tidak yakin. Dia membalas tatapanku dengan wajah datar. Apakah ini Dewa? calon suamiku.

-----

Acara makan malam berlangsung lancar, tidak ada yang namanya hening. Ayah dan ibu mendominasi percakapan yang membuat suasana menjadi hangat. Tidak lupa dengan Jenar yang sukses membuat satu gelas pecah akibat tangannya yang tidak bisa diam.

Selama makan malam pun tidak ada yang membahas tentang perjodohan ini, lelaki itu pun hanya diam dan menikmati makan malamnya. Aku hanya membatin dalam hati "sebenarnya perjodohan nya asli atau kw sih?".

Setelah makan malam, kami pindah ke ruangan tengah dimana terdapat sofa-sofa putih yang aku tebak jika aku mendaratkan pantatku disana akan terasa sangat nyaman. Suasana yang tadi ramai seketika menjadi hening, hatiku berdegup kencang sampai aku takut suaranya akan terdengar.

"Seperti yang kita tahu bahwa kami akan menjodohkan putra kami, Dewa, dengan putri mu San." Ayahnya Dewa berkata dengan lancar yang membuat hatiku juga semakin lancar berdetak dengan cepat.

"Ya, kami juga setuju dengan perjodohan ini. Kami melihat Nak Dewa bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dan menjadi imam yang baik untuk Kanti." Ucapan bapak membuat remasan pada tanganku semakin kuat.

"Kami tidak sabar melihat Nak Kanti menjadi istri Dewa. Kami juga bisa melihat Nak Kanti ini bisa menjadi istri yang baik buat Dewa. Pokoknya Kanti ini menantu idaman kami." Aku melihat ada binar harapan yang terpancar dari ibunya Dewa.

"Syukurlah kalau semua sudah setuju dengan ini. Nak Kanti, ada yang ingin kamu tanyakan?" Ayahnya Dewa menatap ku dan ku balas dengan anggukan.

"Apa kami diberi waktu untuk pendekatan? Saya rasa itu perlu, mengingat bahwa kami belum mengenal satu sama lain." Ucapku tegas.

"Kalian bisa saling mengenal setelah menikah bukan? Ibu rasa itu lebih baik Kanti." Ibu tersenyum menjawab pertanyaan ku.

Ok aku mau menerima perjodohan ini dengan syarat ada pendekatan atau istilah nya PDKT tapi kalau seperti ini. Aku harus berpikir dua kali. Bagaimana bisa menikah dengan orang yang hanya baru mengerti namanya. Astaga.

"Saya setuju, lebih baik mengenal setelah menikah."

Aku menatap laki-laki itu dengan alis berkerut, dia juga setuju. Kenapa mereka ingin sekali aku segera menikah?

Tapi mau bagaimana lagi, semua orang menatapku dengan binar yang sama, seolah-olah jawaban ku ini sangat penting. Ini memang penting Kanti.

Helaan napas berat ku keluarkan, menatap mereka dengan wajah pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.

"Baiklah, Kanti juga setuju."

Semua orang bernapas lega tidak lupa senyum ayah dan ibu yang merekah dengan jawabanku. Ini yang mereka mau dan aku akan menuruti. Ini bakti Kanti kepada ayah dan ibu.

Here we go!

-----

Finally! aku bisa up lagi yay!

Sebenernya chapter ini udah ada di draft dan 80% jadi cuma karena bentar lagi UAS jadi fokusnya ke pecah hahaha.

Jangan lupa taburan bintang nya ya.

ti amo.




Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang