Gemericik air yang berjatuhan mengalun lembut di telinga, udara dingin berhembus menggelitik tetapi aku tetap merasakan perasaan hangat melingkupi tubuh. Saat mendongak wajah Mas Dewa yang sedang tidur menjadi pemandangan pertama yang aku lihat.
Aku ingat sekali semalam posisi kami tidur tidak seperti ini karena aku membelakangi Mas Dewa dan ia memeluk ku dari belakang. Tapi pagi ini berbeda kami tidur berhadapan.
Tangan laki-laki itu masih setia melingkar seolah menandakan bahwa ia nyaman dengan posisinya. Aku tersenyum malu jika mengingat interaksi ku dengan Mas Dewa akhir-akhir ini.
"Mas," berusaha melepaskan lilitan tangannya tapi sang empu semakin mengeratkannya.
"Aku mau ke bawah bantuin ibu masak sarapan dulu ya." Ia menggeleng lucu.
"Sini aja." Bisiknya serak.
"Nggak enak nanti kalau ibu lihat."
Memang setelah acara resepsi berakhir, malamnya aku dan Mas Dewa menginap di rumah bapak dan ibu. Nanti malam waktunya aku menginap di rumah ibu dan ayah Mas Dewa.
"Hmm..jangan lama-lama." Akhirnya lilitan tangan itu terlepas.
Mengelus pelan rambutnya aku segera beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu. Baru saja akan melangkah suara deringan handphone dari ponsel Mas Dewa terdengar.
Aku pikir dia segera bangun dan mengangkatnya tapi ternyata tidak ia semakin terlelap merasa tidak terganggu. Karena ku pikir panggilan penting akhirnya aku mengambilnya.
Aunt Ainsley calling...
Bibi Ainsley? Siapa dia?. Tapi karena aku merasa tidak ada hak untuk mengangkat akhirnya ku serahkan ke laki-laki yang terlelap itu.
"Mas ada yang telepon," ia membuka matanya berat. "Dari Aunt Ainsley."
Tiba-tiba Mas Dewa langsung duduk dengan tegak dan berdiri menjauh keluar dari kamar. Raut wajahnya terlihat panik dan gugup. Banyak tanda tanya bercokol di kepala ku.
Aku memutuskan juga ikut menyusul keluar kamar tampak Mas Dewa sedang berbicara serius dan pelan membuat aku tidak bisa mendengar percakapan mereka.
Ku putuskan untuk turun ke bawah, ternyata sudah ada ibu dan Mbak Gladhis serta bapak yang sedang menyeruput kopi di ruang tamu.
"Selamat pagi pengantin baru!" Mbak Gladhis menghampiri dan mencolek dagu ku.
"Gimana tadi malem? Kalau kedengerennya sih anteng. Main kalem ya?" Bisiknya di telinga ku.
"Apasih mbak." Mbak Gladhis menyusul memasuki dapur.
"Tapi kok rambutnya kering gini?" Perempuan dengan satu anak itu menyentuh rambut ku. "Oh lupa kan ada hair dryer ya."
Pagi-pagi sudah disambut dengan ke-absurdan Mbak Gladhis. Sambil menunggu Mas Dewa turun aku membantu ibu menyiapkan makanan. Ibu sepertinya sedang bersemangat terlihat dari banyaknya masakan yang tersaji di meja makan.
"Ibu nggak capek? Ini masaknya banyak banget." Perempuan paruh baya tersebut tertawa.
"Wong ada anaknya yang baru nikah ya ibu seneng nduk, nggak kerasa sama sekali capeknya." Piring-piring sudah tertata rapi.
"Pokoknya kalau ibu capek langsung istirahat aja biar Kanti yang beresin." Ucap ku.
Semua orang sudah berkumpul di meja makan kecuali Mas Dewa sampai sekarang belum terlihat batang hidungnya.
"Kanti mau panggil Mas Dewa dulu." Dibalas anggukan oleh semua orang.
Saat menaiki tangga aku melihat Mas Dewa masih berbicara entah dengan siapa ditambah bahasa yang mereka gunakan merupakan bahasa asing. Suara langkah kaki ku terdengar membuatnya berbalik sambil menatap ku dengan senyuman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Dewa
Romance[Mature Content‼️] Jodoh? pasti akan datang dengan sendirinya. Dijodohkan? itu nggak pernah terpikir di otak ku apalagi aku hanyalah gadis penurut, liat ibu melotot dikit aja udah takut. Tapi bapak pernah bilang, "witing tresno jalaran soko kulino"...