Bab 9

1.1K 46 2
                                    

Setelah aku pikir lagi kayaknya cerita ini aku buat sedikit ada bumbu mature nya ya, nggak banyak kok (beneran) 💃.

Happy reading!

-----

"Loh Dewa, lagi sarapan ya?" Dewa mengangguk dan tersenyum tipis, "Iya mbak."

Mbak Gladhis mengangguk dan menatap perempuan di depan Dewa dengan tatapan tanda tanya. "Oh enggak sendiri? Siapa ini?" Tatapan penuh selidik dilayangkan oleh Mbak Gladhis.

"Partner kerja mbak, silahkan gabung di sini aja mbak biar saya pesankan," Dewa menyambut kami agar bergabung dengan dia dan temannya.

"Oh iya makasih Dewa. Sini dek duduk," Aku duduk di sebelah Dewa karena Mbak Gladhis sudah lebih dulu mengambil tempat di samping temannya Dewa.

Selama kami menunggu timlo yang sedang disiapkan, percakapan hanya didominasi oleh Mbak Gladhis dan Dewa. Aku hanya diam dan mendengarkan begitu juga dengan Resa--teman Dewa.

"Kamu udah lama ya Sa jadi partner kerjanya Dewa?" Resa mengangguk. "Saya teman kuliah dia juga mbak, kebetulan kita satu jurusan ." Mbak Gladhis mengangguk paham.

"Oalah temen kuliah ternyata, pantes keliatan akrab banget." Ucapnya sambil melirik ku jahil.

Kenapa itu lirik-lirik segala? Mana mukanya ngeselin lagi.

"Oh iya sampai lupa ada yang dianggurin. Kenalin Sa ini Kanti, adek nya mbak." Resa menatap ku dengan senyum manisnya. Jujur Resa mempunyai senyum yang indah ditambah lagi jika dilihat dari gerak-geriknya sejak tadi dia itu tipikal perempuan yang kalem.

"Resa. Kamu cantik banget Kanti," Dia menjulurkan tangannya mengajak bersalaman, aku pun menyambutnya. "Terimakasih. Kamu lebih cantik Sa." Kebiasaan perempuan pasti saling puji kecantikan.

"Mbak Gladhis partner kerjanya Mas Dewa juga?" Apa? Mas Dewa? Dia panggil Dewa dengan embel-embel "mas" ?

Saat Mbak Gladhis ingin menjawab, timlo pesanan kami datang. Aroma kaldu dari timlo sangat menggugah selera untuk segera disantap. Tidak lupa potongan Sosis Solo yang tercampur kaldu semakin membuat perutku meronta.

Kami menyantap timlo dengan hening dan fokus dengan makanan masing-masing kecuali Jenar yang sejak tadi tidak ingin makan. Padahal makanan yang berkuah menjadi kesukaan anak itu.

"Ayo makan dulu, ini pesawatnya dateng nguingg nguingg," Aku menggerakkan tangan ku seperti pesawat yang sedang terbang. Hal itu pun tidak luput dari perhatian Dewa, dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Ndak au." Jenar menutup mulutnya dengan tangan.

"Nanti Jenar lemes kalau nggak makan. Sedikit aja ya." Anak itu tetap menutup mulutnya tidak ingin makan.

Aku menghela napas, "Nanti biar mbak aja yang suapin," ucap Mbak Gladhis tapi tiba-tiba tangan Dewa terbuka seperti ingin mengambil alih Jenar ke gendongannya.

"Biar saya yang suapin." Jenar sudah berpindah tempat dan mangkuk yang sedari tadi ku pegang juga sudah diambil alih.

Dewa berdiri dengan tangan kiri menggendong Jenar sambil membawa mangkuk dan tangan kanan yang mulai menyuapkan satu sendok kecil ke mulut Jenar.

Dia menyuapi Jenar sambil berceloteh sedikit terlihat dari gerakan bibir tipisnya yang naik turun. Anehnya anak kecil itu menerima suapan dari Dewa.

"Mas Dewa udah cocok jadi suami ya," Resa tertawa kecil dan ditanggapi anggukan dari Mbak Gladhis. "Iya udah suamiable."

"Gimana Kan menurut kamu?" Aku tersenyum menyetujui apa yang Resa ucapkan, "Iya udah cocok banget."

Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang