Bab 7

1.3K 43 0
                                    

Setelah kejadian usap-usap bibir di warung sate, aura awkward diantara kami langsung muncul, Dewa yang pembawaannya memang tenang sepertinya enjoy saja tapi berbanding terbalik dengan ku. Mulai dari membenarkan letak duduk ku agar nyaman, memilin jari, menatap ke luar memandangi langit, dan mencuri pandang sedikit ke arah laki-laki di samping ku.

"Langsung pulang?" Aku mengangguk mantap, "Nanti malam aku mau keluar sama teman." Dewa hanya diam dan menggerakkan jarinya mengetuk stir mobil.

"Kemana?" Dia menoleh ke arah ku dengan tatapan penasaran.

"Kayaknya muter-muter sama mau cari jajanan," Ku tegakkan sandaran ku dan sedikit memiringkan badan untuk melihat ekspresinya.

Dewa tersenyum tipis sambil mengangguk.

Tidak lama kemudian mobil Dewa sudah terparkir di depan halaman rumah. "Mau mampir dulu?" Alis ku terangkat melihat dia hanya menatap wajah ku. "Nggak usah, saya lanjut mau ke resto. Titip salam ya buat bapak sama ibu." Aku mengangguk dan turun, mobil Dewa sudah pergi dari halaman rumah.

"Kok dia aneh ya? Orangnya emang irit ngomong tapi dari tadi tatapannya kaya liatin aku kalau aku ini setan." 

Melangkahkan kaki memasuki rumah dan melihat bapak sedang mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. "Bapak nyari apa?" Bapak terlonjak kaget sembari menatap ku horor, "Woalah nduk kalau masuk rumah yo salam to, untung bapak rajin olahraga. Jadi jantungnya aman."

Aku meringis menggaruk kepala, "Iya maaf pak, tadi mau salam tapi keduluan liat bapak mondar-mandir, emang bapak lagi cari apa?"

"Sekop tanaman yang bapak taruh disini ditaruh dimana? Kamu liat nggak nduk ?"

"Sekop? Dimana ya pak, sebentar Kanti bantu cari." Aku melangkah mendekati buffet tv karena bapak sering menaruh barangnya disini, katanya biar nggak lupa.

"Udah pulang nduk? Eh, nyari apa to?" Ibu melihat aku dan bapak yang mengobrak abrik barang serta laci.

"Bapak nyari sekop buk, kemarin bapak taruh sini. Inget banget kok,"

"Oalah bapak nyari sekop, itu loh dipakai Gladhis buat ngubur ikannya Jenar di belakang, ikannya mati." Aku tertawa mengingat ikan itu yang setiap hari akuarium nya di obok oleh anak kecil itu.

"Ealah mati ikan e?" Ibu mengangguk, "Putu mu nangis lagi, tadi kangen papanya sekarang ikannya mati." Bapak geleng-geleng kepala.

"Yowis bapak tak ke belakang dulu."

Bapak berlalu meninggalkan aku dan ibu di ruang tamu. "Makan dimana tadi?" Aku mendudukkan pantat ku di sofa.

"Di sate kambing langganan bapak,"

"Gimana nduk sama Dewa? Kamu keliatannya sudah nyaman sama dia." Nada bicara ibu memang santai tapi aku tahu maksudnya.

"Dewa orangnya asik -asik dari mananya, kaku kayak kanebo kering- dia juga sering buka topik pembicaraan, nyambung kok bu." Maaf ya bu, Kanti bohong. Semoga nggak jadi batu.

"Bagus kalau gitu, ibu ikut seneng dengernya," Raut muka ibu terlihat sangat senang seperti ada matahari yang sedang menyinari.

Aku tersenyum, ku gerakkan badan ku memeluk ibu. Memang ibu orang yang keras beda dengan bapak tapi aku tahu sebenarnya ibu sangat sayang pada ku. Ibu tidak ingin menyusahkan anaknya.

Ibu sedikit kaget dengan gerakan ku yang tiba-tiba tapi aku langsung bisa merasakan ibu rileks dan membalas pelukan ku. Tidak ada sepatah kata yang terlontar dari ku maupun ibu, kami hanya menikmati pelukan yang hangat.

Aku mengurai pelukan dan menangkap binar senang di mata ibu, tidak lama air mata jatuh di pipinya membuat ku langsung mengusap seolah berkata "everything will be fine."

Ibu memegang kedua pipi ku dan berkata, "Ibu sayang Kanti, ibu ingin Kanti bahagia. Maafkan ibu jika semua ini tidak sesuai dengan kemauan mu nduk."

Aku mengangguk mengusap tangan ibu yang berada di pipi ku. Membawa tangan nya dan kurangkum menjadi satu dengan tangan ku. Kami bertatapan saling menyalurkan rasa kasih sayang melalui tatapan itu.

Tidak ada yang menyadari bahwa sedari tadi ada orang yang tersenyum melihat interaksi antara anak dan ibu.

-----

Malam harinya Hayu sudah standby di ruang tamu ku tanpa sungkan dia meminta minum dan mengambil sendiri seolah ini adalah rumahnya. Ditemani bapak dan Mbak Gladhis di ruang tamu, Hayu bercerita semangat tentang diterimanya dia di salah satu perusahaan interior design yang dulu saat masih ingusan menjadi cita-citanya.

Aku menuruni tangga dengan sling bag  hitam di pundak kanan ku. Tidak lupa kunciran ekor kuda yang selalu menjadi gaya rambut andalanku alias nggak ribet. Hayu yang melihat ku langsung bersemangat membuat bapak dan Mbak Gladhis menoleh.

"Emang kerjaan anak muda jalan-jalan terus ya?" Aku terkikik sambil berjalan ke arah mereka.

"Kalau lagi ada uang aja sih mbak, kalau nggak ada ya bobok cantik di rumah," Bapak menggeleng melihat tingkah laku anak muda zaman sekarang.

"Pak, mbak kita pamit keluar ya," Aku menyalami bapak dan Mbak Gladhis, diikuti juga dengan Hayu.

"Hati-hati ya nduk, ndak usah ngebut." Hayu dan aku langsung membuat tanda hormat. "Kalau lewat rumah Bu Suci tolong lihatin, masih ramai nggak. Tadi ibu arisan disitu sama ngajak Jenar."

"Siap pak!"

Aku dan Hayu bergegas keluar menuju motor vespa matic berwarna kuning yang terparkir manis di depan rumah. Kami menikmati udara malam Solo dengan obrolan yang nggak penting. Saling nunjuk jajanan yang aku dan Hayu wajib coba.

Motor Hayu berhenti disalah satu angkringan susu "Shi Jack" yang memang sangat rami terutama jika weekend. Susu coklat menjadi menu wajib yang ku pesan jika di Shi Jack. Tidak lupa sosis solo dan capcay bungkusan kecil menjadi pelengkap untuk nongkrong disini.

"Mau curhat disini?"

Hayu menggeleng dan mulai membuka bungkusan capcay, "Nanti gue ajak lo ke tempat keren." Dia menunjukkan dua jempol nya kepada ku.

"Heleh,"

Pesanan kami datang, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak jajanan Hayu dan aku ambil bisa dibilang kami kalap. Banyaknya pengamen yang mengunjungi angkringan berjejer disini membuat suasana menjadi lebih ramai.

"Eh lo tau gak Kan, kemarin gue kan interview di kantor. Nah pas gue balik, gue ke tabrak sama cowok ganteng. Sumpah ganteng banget."

"Perasaan cowok yang ketemu sama lo pasti dibilang ganteng, gak kaget gue."

Hayu meminum susu jahenya dengan semangat, "Nggak, ini beda gue yakin. Auranya ajegile ga kuat dedek." Dia makan sambil membayangkan laki-laki itu terlihat dari wajahnya yang membuat muka omes.

"Ih muka lo! Mikir jorok kan." Aku memukul tangan Hayu pelan. Habisnya muka dia itu loh. Ngeri.

"Hahaha, gue innocent kok." Tunjuknya dengan raut menggelikan.

"Pret."

Kami menghabiskan makanan dan susu dengan tetap membahas "Mas Crush" sebutan dari laki-laki yang dikagumi Hayu dan rencana Hayu selanjutnya setelah bekerja.

-----

Hellow happy reading!

Nduk : sebutan untuk anak perempuan di Jawa.

Putu : sebutan untuk cucu di Jawa.

Jangan lupa taburan bintang nya ya :)

Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang