Bab 4

1.5K 63 0
                                    

Dua minggu setelah pertemuan makan malam antar keluarga, bapak dan ibu terlihat lebih sumringah. Terutama ibu. Bagaimana tidak jikalau keinginan beliau yang ingin mempunyai calon mantu idaman tersampaikan.

Kalian juga pasti bertanya-tanya sejauh mana hubungan ku dengan Dewa tapi sayangnya setelah pertemuan itu Dewa tidak menghubungi ku, setidaknya menanyakan kabar pun juga tidak.

Inilah yang sekarang menjadi masalah ku. Terkadang aku sendiri pun bingung, dia niat atau tidak. Tapi dilihat dari pertemuan kemarin jika sampai gagal sepertinya tidak mungkin. Membulatkan tekad, aku meminta nomor Dewa lewat ibu. Ibu sedikit terkejut tapi tidak berkata apa-apa.

To : Dewa

Selamat pagi. Ini nomerku, Kanti.

"Bener gini kan? iya udah ini bener." Aku melempar ponselku dan mulai menggigit kuku, kebiasaan ku jika sedang gugup.

Kembali melirik ponsel, aku mendesah. Tidak ada tanda-tanda munculnya notif

Aku berjalan keluar kamar dan mendapati Jenar, si bocil sedang bermain di ruang tengah sendirian dengan dikelilingi mainannya. Dahi ku mengerenyit, dimana Mbak Gladhis?

"Lagi main apa sih? kok kayaknya kamu asik banget." Anak kecil itu mendongak lalu menatapku dengan matanya yang bulat.

"ta-ta-ta-ta!" Ucap Jenar dengan menghentakkan tangannya yang membawa mainan kereta berwarna biru tersebut.

"Oh, ini namanya Tomi kan."

Jenar menggeleng dengan bibir yang ia kerucutkan, sungguh menggemaskan!

"Mas-mas-mas!"

Hah? Mas apa? Mas Dewa?

"Aha! Thomas namanya." Jenar mengangguk sembari tertawa.

Bocah kecil itu langsung memfokuskan kembali ke mainan-mainannya yang berserakan. Melihat Jenar yang bermain seperti itu membuatku teringat saat masa kecil. Dimana dulu aku mempunyai tetangga yang anaknya punya banyak mainan.

Mengingat itu seketika pikiranku melayang, dulu bapak hanyalah seorang pegawai kantor biasa dengan gaji perbulan yang bisa digolongkan pas untuk menghidupi keluarganya. Untuk makan enak saja kadang harus berpikir dua kali.

Setiap hari ibu yang selalu menyiapkan kebutuhan kami bertiga dengan telaten. Ibu juga selalu bisa me-manage keuangan dengan baik sehingga kebutuhan asupan panganku dengan Mbak Gladhis selalu terjamin walaupun uang tersebut harus dibagi lagi dengan kebutuhan lainnya.

Untung saja waktu aku dan Mbak Gladhis masih kecil kami tidak pernah meminta dibelikan ini itu. Padahal setahuku, anak kecil selalu meminta mainan, baju, sepatu, dan masih banyak lagi. Tetapi itu semua tidak berlaku untukku dan Mbak Gladhis, kami seolah dilatih untuk mengerti dengan keadaan.

Sampai terkadang bapak sendiri yang merasa bahwa ia belum bisa menyenangkan kedua hati putrinya. Nyatanya, itu menurut ku tidak terlalu penting dibandingkan pelukan bapak dan ibu yang selalu bisa membuat kedua putrinya senang.

Lamunanku terbuyar dengan tepukan di pundak ku. Bapak datang sambil menenteng tas kresek bening dengan jenang sebagai isinya. Kebiasaan bapak di pagi hari adalah berjalan ke depan komplek untuk mencari jenang dan jajanan pasar yang dijual oleh sebuah kios.

"Jenang ya pak? Kanti mau!" Aku melirik ke arah Jenar yang sepertinya dia juga mau.

"Iya, ini tolong disiapin ke mangkuk, bapak mau cuci tangan dulu, hati-hati panas," Ku anggukkan kepala.

"Bentar ya bocil, onti siapin dulu."

Aku langsung menghambur ke dapur dengan senandung kecil yang keluar dari bibir ku. Jenang ini menjadi salah satu makanan favorit ku. Rasanya manis seperti aku.

Membawa dua mangkuk berisi jenang, aku menghampiri bapak yang sedang menggelitiki Jenar.

"Ini pak, Mbak Gladhis kemana ya?"

"Tadi pas bapak mau berangkat, mbak mu itu lagi sama Jenar."

"Iya tapi pas Kanti turun kesini, mbak nggak ada." Tanganku yang sedang membawa sendok ku gerakkan naik turun supaya jenang nya dingin dan tidak panas saat dimakan Jenar.

"Mungkin lagi di belakang," Bapak tampak sangat menikmati terlihat dari makannya yang sangat lahap.

Tidak lama kemudian Mbak Gladhis datang dari arah halaman belakang dengan ponsel digenggamnya.

"Mas Rion belum bisa pulang lagi bulan ini," Helaan napas Mbak Gladhis terdengar sangat berat.

"Mungkin mas mu itu sedang sibuk-sibuknya, sabar sedikit nanti pasti terobati." Mbak Gladhis menatap bapak dengan tawa yang tertahan.

"Bapak kayak anak muda aja bahasanya, siapa dek? Dilan?"

"Yang rindu itu kan mbak, iya Dilan." Tawa Mbak Gladhis memenuhi ruangan. Anaknya melihat si mama seperti itu langsung menampakkan wajah takut.

"Gladhis! anakmu itu loh keliatan mau nangis denger suara mama nya." Ibu datang dengan menenteng tas belanjaan yang ku tebak ibu habis dari pasar.

"Eh, jagoan kok nangis, sini sama mama," tangan Mbak Gladhis terbuka siap untuk membawa Jenar ke pelukannya.

Tapi yang ada Jenar malah mengeluarkan suara tangis yang sangat amat merdu. Mbak Gladhis yang melihat itu seketika langsung panik dan menggendong nya.

Bapak dan ibu hanya menggelengkan kepala tanda menyerah dengan kelakuan anak-anak perempuannya. Yang satu sudah punya buntut dan yang satu lagi mau menikah.

Tiba-tiba terdengar ketokan pintu yang membuat ku langsung berdiri untuk membukanya. Mata ku seketika melotot. Dan yang ku pelototi hanya tersenyum tipis mungkin jika tidak ditamatkan seperti orang yang tidak tersenyum.

"Saya boleh masuk?"

Dewa. Tamu yang datang pagi ini adalah laki-laki itu.

"Silahkan"

Dewa tersenyum lagi dan kali ini lebih lebar, sedikit.

Aku menyingkirkan tubuhku dari depan pintu mempersilahkan Dewa untuk masuk. Dan yang membuat ku hampir jantungan adalah tangan Dewa yang mengelus rambutku.

Senyum sudah membuatku jantungan apalagi elus. Aku sangat yakin jantungku sudah jatuh ke lantai. Menyeramkan. Tapi menyenangkan.

Dewa sudah masuk ke rumah dan bagusnya aku tersenyum seperti badut di depan pintu. Kanti! kamu cuma dielus doang kok lemah sih?!

-----

Update lagi guys! Aku lagi uas loh tapi aku sempetin buat nulis. Kadang obat kalau lagi stress itu malah nulis hehehe.

Jangan lupa taburan bintang nya ya.

Ti amo.

Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang