Bab 8

1.2K 41 1
                                    

"Hah?!"

Gebrakan meja membuat perhatian seluruh ruangan tertuju kepada ku. Setelah kami dari angkringan Shi Jack, Hayu membawa ku ke salah satu tempat tongkrongan hits, katanya. Ku tarik Hayu sambil menutup mulutnya yang sebelas dua belas dengan toa masjid. "Diem Yu, gue udah bilang tadi juga apa."

Hayu membentuk tanda peace, "Lo kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin sih?!" Hanya gelengan yang ku tunjukkan, "Belum yakin." Hayu menatap ku horor.

"Ini berita besar Kan. Jadi bentar lagi gue punya ponakan." Dia cengengesan. Gantian aku yang menatapnya horor.

"Kok lo malah mikir gitu sih Yu?!" Aku meneguk lemon squash yang sedari tadi belum tersentuh. "Bener kan? Temen gue bentar lagi nikah terus punya anak. Ah mantap."

"Ngomong-ngomong calon laki lo ganteng? Mapan? Sholeh? Brondong? Duda? Atau gimana? Jelasin dong," Wah gak bener nih, dia makin ngelantur aja.

"Yu, tujuan kita keluar tadi kan gara-gara lo mau curhat. Ngapain jadi gue," Hayu terkikik.

"Topik punya lo lebih seru Kan makanya ceritain dong, janji deh abis lo cerita nanti gantian gue." Ia meyakinkan ku dengan tampang sok seriusnya.

"Janji ya," aku menggeser maju kursi agar lebih dekat dengan Hayu. "Namanya Dewa, si cowok lumpia."

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

"Hah?!" Tuhkan jangan percaya sama Hayu. Disuruh biasa tetep aja nyebulin keong.

"Cowok lumpia? Lumpia apaan sih? Gak paham," Hayu menggeleng, "Dewa? Kok gak asing banget ya namanya."

"Ya iyalah gak asing, yang punya nama Dewa gak cuma satu ih. Mantan lo namanya Dewa, mantan gebetan kedua lo juga Dewa."

"Hihihi iya juga sih, tapi kok cowok lumpia? Gak keren banget deh namanya."

Aku menimang lagi. Hayu itu orangnya lupaan, bisa dibilang parah banget. Waktu itu kami pernah pergi ke bioskop untuk menonton salah satu film yang lagi tren di kalangan anak sma.

Dia sendiri yang bilang untuk menyimpan tiketnya karena memang kami datang lebih awal. Pintu theater sudah dibuka, dengan semangat 45 ia menerobos antrian dengan aku ditinggal di belakang, kurang asem emang.

"Boleh liat tiketnya kak?" Dengan semangat yang masih terus mengalir, Hayu mencari di tasnya tapi nihil, di saku celana tetap tidak ada.

"Hmm...bentar mbak tiketnya dibawa temen saya," Hayu langsung ngacir pergi gitu aja dan menyusul ku dengan raut panik.

"Tiket ada di lo kan?"

"Enak aja, udah ditinggal nuduh lagi. Mana gue tau," aku mengendikkan bahu acuh.

"Heh! Beneran ini Kan, tiketnya ilang masa?!"

"Ga lucu ya Yu. Cari yang bener." Hampir sepuluh menit kami berdiri dan bioskop mulai sepi.

"ASTAGA!"

Aku berjengit kaget, asli ini anak gak kaleng-kaleng ngagetinnya.

"Gue kasih di mejanya mekdi! Gue pikir struk belanja,"

Geraman keluar dari mulutku. Kampret emang. Bisa-bisanya dikira struk belanja.

"Makanya jangan batu kalo gue bilang gue bawa aja," aku menjitak kepala Hayu.

Ya begitulah hilang ingatannya Hayu sudah mencapai level kronis. Hutang di kantin sma aja sampai sekarang belum dibayar.

Tapi anehnya jika dia mengingat kesalahan satu orang saja ingatannya tidak main-main. Untungnya Hayu itu orangnya asik kalau enggak udah aku buang jauh-jauh.

Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang