Bab 2

1.7K 64 1
                                    

Sungguh, aku tidak pernah memikirkan jika nasibku akan seperti ini. Menikah dengan orang yang belum pernah aku temui terlebih lagi aku baru saja lulus kuliah. Oh no! aku masih ingin bekerja punya karir yang bagus dan membahagiakan orang tuaku.

Sebagian orang---ralat semua orang juga ingin punya impian sepertiku. Hey, perjalanan ku masih panjang, berkeliling dunia adalah salah satu impianku. Menikmati udara segar di Negara Swiss pasti menyenangkan.

Aku melihat keluar jendela menatap langit malam yang begitu menenangkan, menghela napas pelan dan mulai memejamkan mata. Berharap bahwa ini hanya sebuah mimpi yang dimana saat aku bangun aku akan tersenyum mengingatnya.

-----

Aku menggeliat pelan di dalam gelungan selimut tebal yang terasa nyaman ini, udara di pagi hari memang membuat semua orang betah untuk tetap berada di atas tempat tidur. Tapi sepertinya itu tidak berlaku dengan ibu.

Mendengar suara gaduh di luar aku mencoba untuk bangun dan merapikan tempat tidur, ya aku sedikit risih jika melihat kasur ku tidak rapi. Harum masakan langsung menyapa indera penciuman ku, aku sudah bisa menebak jika ibu sedang memasak.

"Selamat pagi Ibu Negara," aku tersenyum lebar dan mulai mengintip apa yang sedang dimasak ibu. Ah! krengseng ayam dan cah kangkung. I know she's my mom.

"Anak gadis bangunnya kok jam segini sih nduk, ayamnya Pak Somad aja udah demo dari tadi." Omel ibu.

"Ini rekornya Kati loh bu bisa bangun jam segini, biasanya kan gitu." Cengiran lebar menghiasi wajahku dan dibalas dengan helaan napas ibu.

"Hm, sini bantu ibu, mbak mu lagi repot ngurusin Jenar kayaknya badannya lagi anget."

"Nggak dibawa ke dokter aja bu?" Maklum keadaan sedang seperti ini, siapa yang tidak takut jika terjadi apa-apa.

"Ya nanti kalau masih anget dibawa ke dokter, tadi udah dikasih Paracetamol." Aku hanya mengangguk dan mulai membantu.

Tidak lama kemudian terdengar suara Jenar yang menangis, aku melihat ke belakang dan mendapati Mbak Gladhis berjalan menuruni tangga dengan menggendong Jenar.

"Ya ampun! Ponakannya onti yang lucu ini kenapa nangis, hm? Boleh aku gendong aja mbak?" Mbak Gladhis menatap ku sebentar.

"Itu tangan bekas ngiris cabe, cuci tangan dulu sana!" Aku mengangkat kedua tangan dan menyengir lebar.

"Hehe iya ini cuci, masa iya ponakan ku yang ganteng ini kena bekas cabe," Ibu yang melihat hanya geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak umur sudah dua puluh tiga kelakuan masih kayak anak smp.

Jenar yang melihat onti nya mendekat seketika langsung terdiam, tangisnya yang terdengar memilukan terganti dengan suara khas bayi.

"M-m-m-ti,"

Ah! anak ini tau saja jika akan digendong oleh onti cantik. Buktinya dia terdiam dan mengeluarkan tatapan yang oh! menggemaskan. Aku pun menggendong Jenar yang langsung disambut ocehan bayi itu.

"Sini sini anak manis, anak siapa sih, aduh lucunya." Ucapku sambil menggelitik pelan perut nya yang kecil.

"Udah cocok kamu gendong anak," Perkataan ibu membuatku sedikit terkejut dan mengingatkan tentang perjodohan itu. Dan ya itu bukan mimpi Kanti, it's real.

"Masa sih bu? udah cocok ya?" Hanya itu yang bisa ku ucapkan.

"Iya, calon nya kan juga udah ada, iya kan Dhis?" Ucap ibu meminta persetujuan dari Mbak Gladhis.

Mbak Gladhis hanya tersenyum, dia sepertinya tidak terlalu setuju dengan perjodohan ini. Ya, Mbak Gladhis berada di pihak ku.

"Mbak aku bawa Jenar ke taman belakang ya," Mbak Gladhis mengangguk sebagai tanda setuju.

-----

Aku membawa Jenar ke taman belakang, di sana terdapat gazebo kayu dan Pohon Cemara yang membuat tempat ini menjadi rindang, terlebih lagi angin sepoi-sepoi sangat mendukung tempat ini menjadi salah satu tempat kesukaan ku di rumah.

Jenar semakin banyak berceloteh riang sepertinya dia suka tempat ini, aku duduk dan mendudukkan Jenar ke pangkuan ku. Menempelkan tangan di dahi nya untuk melihat apakah panas nya sudah turun atau belum

"Jenar suka?" Dia hanya menatap ku dengan mata bulat dan bulu mata yang lentik. Bagaimana bisa anak kecil ini mempunyai mata yang indah? Sedangkan aku? Harus memakai mascara agar bisa mendapatkan mata lentik seperti itu.

"M-m-m"

"Kenapa anak manis, hm? laper? haus? atau?" Ah! aku tahu jawabannya, dia sepertinya buang air besar terasa dari aroma yang sangat khas itu.

Mbak Gladhis datang dari arah dapur, menatapku dan bertanya "Kenapa Kan?"

"Ini mbak, kayaknya Jenar poop deh," Ucapku sambil bergaya seperti mengendus-endus.

"Anak mama tau banget ya kalau poop di gendongan nya onti cantik kamu." Mbak Gladhis menoel hidung mancung Jenar dengan gemas.

"Jenar, kamu tuh ya mentang-mentang onti single jadi tempat buat itu kamu." Jenar hanya tertawa seolah-olah dia mengerti bahwa aku sedang kesal dengan nya.

Melihat ada suara orang tertawa bapak datang menyusul kami bertiga di taman belakang. Dan tidak lupa membawa cangkir teh kesayangan nya.

"Walah, ada apa ini kok lagi ketawa? seru banget kayaknya." Bapak duduk di sampingku serta menaruh cangkirnya sedikit jauh agar tidak tumpah.

"Ini loh pak, Jenar poop di gendongannya Kanti, terus dia malah ketawa." Jelas Mbak Gladhis dengan membawa Jenar di gendongannya.

"Putu-ku ini ada-ada aja, cepat diganti sana Dhis, kasian dia nggak nyaman itu." Bapak menunjuk wajah Jenar yang mengeluarkan ekspresi seperti ingin menangis. Dasar anak kecil tadi aja ketawa.

Mbak Gladhis mengangguk, meninggalkan aku dan bapak di gazebo berdua. Suasana hening menyelimuti kami, dan tidak lama kemudian bapak bertanya.

"Sudah makan belum?"

"Belum pak, tadi masih ngurus Jenar soalnya Mbak Gladhis lagi bantuin ibu." Jelas ku kepada bapak.

"Iya Mbak mu bantuin ibu soalnya kamu pengen gendong Jenar kan, biar nggak disuruh bantuin masak." Aku tertawa menanggapi bapak, perasaan tadi bapak nggak ada di sekitar dapur tapi bapak tahu saja.

"Kamu sudah siap kan nduk hari ini untuk makan malam sama keluarga calon suami mu?" Bapak menatap ku dan lama aku tidak menjawab, bapak menghela napas.

"Ya sudah, ayo makan dulu." Bapak berdiri dan membawa cangkir nya masuk ke dalam.

Aku hanya termenung, di dalam hati ku ingin sekali menjawab aku tidak bisa, aku belum siap. Tapi entah kenapa mulut ku seolah-olah terkunci dan tidak bisa mengucapkan sepatah kata.

-----

Halo i'm back! Setelah sekian lama aku menganggurkan cerita ini akhirnya aku melanjutkan lagi. Woah aku pikir selama belajar di rumah punya banyak waktu luang tapi ekspetasi tidak sesuai realita. Tugas semakin menumpuk guys!

Tapi aku bakal tetep coba meluangkan waktu ku buat kalian semua yey!

Jangan lupa taburan bintang nya ya.

ti amo.

Mas DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang