17~ Harga Sebuah Kutukan

92 20 10
                                    

Sambil menghembuskan napas, sesaat Syafa mendongakan wajah ke arah langit. Sementara kedua kakinya berhenti melangkah, sorot matanya menajam menatap arakan awan yang mulai menghitam.

Ujung kerudungnya mengibas di terpa angin berdebu bekas lintasan kendaraan. Wanita tersebut menoleh ke kiri dan kanan bergantian. Raut wajahnya lesu, tak bersemangat.

"Syafa! mau kemana?!" di arah belakang, tiba-tiba Damar berteriak sambil mempercepat langkah menuju Syafa yang tengah kembali mulai berjalan di trotoar.

"Mau..." jawab Syafa menggantung. Jujur dia sendiri pun tidak tau hendak pergi kemana.

"Saya antar pulang," timpal Damar.

Berulang Syafa menggerakan telapak tangan kanannya ke kiri dan kanan. Menunjukan isyarat penolakan. "Tidak usah, saya tidak mau merepotkan."

"Gak repot sama sekali Syafa. Saya kan..."

"Tidak usah Damar. Saya tidak pulang. Ada keperluan dulu sebentar. Lagi pula kamu harus ngurusin Laki, kan? Gak usah pikirin saya. Saya bisa sendiri. Aman. Okke. Itu dia taksinya datang. Aku pergi ya. Assalamualaikum." Syafa meninggalkan Damar yang tengah bediri mematung sambil menggaruk kepalanya yang tidak berasa gatal sedikitpun. Justru yang kepala Damar rasakan saat itu adalah panas dan pening seolah mau pecah.

"Si Laki kemana lagi ah?! Masih ada satu kali lagi live malah ngilang! Paraaah!!!!" teriak Damar sambil kembali merogoh handphone di saku celana. Dia emosi sendiri. Bahkan beberapa detik kemudian, kaki kanannya yang tidak sengaja menemukan batu yang membuatnya sedikit tersandung, dengan refleks menendang batu tersebut keras. Wajahnya suram, kusam, emosian.

Haah..!!

Lagi-lagi Damar mendengus kesal setelah berulang kali mencoba menghubungi Laki dan berakhir dengan mendengar kalimat, 'nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi...'

"Okke!! Pergi saja sana! Ngilang saja! Kalau perlu pindah ke planet Mars sekalian!!" teriak Damar kesal, sambil memasuki gedung konser.

Sementara itu, tepat tiga meter dari gedung konser, dalam sebuah taxi, Syafa cemberut kesal sambil menghempaskan tubuhnya di punggung jok taxi.

"Ya! Harusnya dari awal jangan terlalu berharap! Tidak satu orangpun manusia di dunia ini yang sifatnya bisa berubah dalam sekejap! Bawaannya menyebalkan, sampai kapanpun tetap pasti menyebalkan! Lihat saja, aku tidak akan pulang! Dasar tukang ingkar janji! Menyebalkan!" rutuk Syafa pelan. Tapi, sepelan-pelannya suara Syafa, tetap saja masih bisa di dengar oleh sopir taxi yang tengah khusu menyetir.

"Kenapa Neng? Pacarnya atau suaminya yang ingkar janji? Hehe" komentar sopir berusia lima puluhan itu basa-basi. Dia sedikit memperhatikan ekspresi kesal Syafa dari spion mobil. Faktanya Laki tidak begitu terkenal, buktinya masih ada bapak-bapak yang tidak mengenali isterinya.

"Oh, maaf ya, Pak. Saya terlalu berisik ya?" tanya Syafa. Wanita itu merasa malu sendiri setelah tau bahwa kekesalannya diluar sadar telah mengganggu konsentrasi Pak sopir.

"Tidak Neng. Tidak mengganggu sama sekali hehe. Tapi, setau bapak, kebanyakan laki-laki itu terkadang baru akan menyadari kesalahannya setelah merasa kehilangan."

"Benarkah?" tanya Syafa polos.

"Ya, neng bisa mencoba membuktikannya," timpal Pak sopir.

"Baik, terimakasih sarannya, pak." tapi aku rasa, laki-laki yang aku maksud tidak akan pernah merasakan kehilangan atas diriku, sampai kapanpun, lanjutnya dalam hati.

Drrrttt.. Drrrttt...

Tepat di daerah sekitar kampus, handphon Syafa bergetar. Dengan segera dia menerima panggilan masuk dari Aina yang ternyata tengah bersama Kaila. Saat itu, Syafa merasa ikatan persahabatan mereka sangatlah kuat. Kedua sosok sahabatnya selalu ada tepat saat dia benar-benar merasa membutuhkannya.

My Wife My Assistant -On goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang