BAB 2. Apartemen

10.3K 1.4K 206
                                    

Pukul tujuh malam, jiwa Dion masih membara di dalam raganya. Sementara Trisha berkali-kali memijit matanya agar tetap fokus melihat layar.

"Dan, Sa, walau kamu harus membantu Prima, pastikan persiapan HUT nggak mengganggu konsentrasimu di tanggung jawab utama. Paham?"

Trisha mengangguk sambil tersenyum manis, berharap Dion luluh dan segera menyudahi rapat hari ini. Dia benar-benar harus bertemu Prima.

"Oke. Hari ini segini dulu. Ry, bagiin hasil rapatnya sama yang lain biar bisa dipelajari di rumah. Hati-hati pulangnya, kita masih punya banyak kerjaan," ucap Dion sebelum melangkah keluar.

"Salut gue," gumam Bastian. "Ketika polisi selalu bilang, " 'hati-hati di jalan, keluarga menunggumu', dia nyuruh kita hati-hati karena masih banyak kerjaan. Ugh! Kepala gue panas."

Trisha terkekeh sambil mengikuti Bastian ke pantry.

"Gula sekalian?" tanya Bastian berbaik hati.

"Dikit aja. Thank you." Trisha menyeruput kopinya dengan khidmat. "Lembur lagi, Bas?"

Bastian mengangguk. "Eliana Padma udah dipastikan nggak bisa hadir. Jadi mungkin nyoba ngelobi Rhaksa Candradewa buat ngisi HUT besok."

Ekor mata Trisha mengikuti punggung Bastian yang keluar pantry, lalu kembali menikmati kopinya. Hujan deras di luar, dan Trisha sedang malas hujan-hujanan. Untuk kesekian kalinya, gadis itu memeriksa gawai.

Nihil.

Trisha memutuskan untuk menelfon Barra. Namun, nomor Barra tidak bisa dihubungi. Trisha mencoba lagi, dengan hasil yang sama. Gadis itu ganti mencari nomor lain dengan khawatir.

"Mas Leo," panggil Trisha begitu nada tersambung. "Mas, mau tanya, udah pulang dari Solo?"

"Udah. Kenapa, Sa?"

"Oh...Barra lembur ya, Mas?"

"Tadi tiba-tiba dia cancel, bilangnya mau naik penerbangan selanjutnya. Beneran belum pulang, Sa?"

"Belum." Trisha meremas cangkir kala kekhawatirannya semakin membesar. "Nggak bisa dihubungi. Apa lanjut lembur, ya?"

"Coba nanti aku telfon kantor. Di rumahnya, nggak ada?"

"Belum cek. Aku belum pulang, Mas."

"Oke. Nanti aku kabari lagi. Jangan panik dulu, Sa."

"Thank you ya, Mas."

Trisha kembali menelfon Barra, namun hasilnya tetap nihil. Gadis itu keluar dengan buru-buru.

"Whups!"

Cangkirnya menabrak sesuatu sebelum menghantam lantai dengan bunyi memekakan. "Ya ampun! Sori sori Mas!"

Trisha meraih tisu dan menutul-nutulkannya di kemeja putih itu dengan panik.

"It is okay. Sa. Jadi berhenti raba-raba dada saya, bisa?"

Trisha langsung menarik tangannya, yang membuat pria itu tertawa.

"Nggak masalah, udah mau pulang. Tapi itu, boleh minta?" Prima menunjuk kotak tisu di tangan Trisha.

Trisha mengangguk. Gadis itu meremasi tangannya seraya mengawasi Prima yang membersihkan baju.

"A--anu...Mas..." Trisha memulai dengan gugup. "Yang tadi malam, sebenarnya...bukan mauku. Orang lain ngedaftarin aku di situ tanpa aku tahu dan--dia yang like balik ke profil Mas Prima. Aku sama sekali nggak ada niat pakai aplikasi itu. Jadi--aku nggak bisa menanggapi lebih jauh lagi."

Sweet Surrender (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang