"Sa! Lo di mana? Kelasnya udah mulai!"
"Aduh...gue belum bisa balik!" Trisha berlari menuju gedung wisuda. Orang-orang melihatnya heran, karena ia berlari sambil membawa sebuah buket bunga yang dirangkai di dalam balon transparan.
"Lo dimana sih? Kok rame gitu?"
"Wisudanya Barra. Udah ya, gue tutup. Nggak lama, kok."
Sepertinya prosesi wisuda masih berlangsung. Gadis itu celingukan dengan cemas, tapi sia-sia saja. Dia tidak mungkin bisa mengintip ke dalam balairung. Akhirnya, Trisha duduk di teras bersama beberapa orang lain yang mungkin saja kerabat dari para wisudawan.
"Zy, videoin materi, dong." Trisha mengirim pesan pada temannya.
Untuk waktu yang lama, gadis berkepang dua itu duduk sambil menyimak materi yang direkam temannya diam-diam. Angin membuat balon di tangannya berayun pelan, menggoyangkan bulir sterofoam warna-warni yang menjadi dekorasi di dalamnya.
Hingga kerumunan tiba-tiba membuatnya berdiri. Gadis itu berjinjit di antara orang-orang, lalu tersenyum lebar saat menemukan Barra berjalan seorang diri. Hidungnya sedikit memerah. Mungkin sedari tadi ia bersin-bersin karena banyaknya bunga yang bertebaran di sekitarnya.
"Barra!" Trisha berlari sambil menggoyang-goyangkan balonnya untuk menarik perhatian Barra. "Barra! Di sini!"
Keterkejutan melintas di wajah datar itu saat melihat Trisha berlari ke arahnya dengan berbinar. Tanpa jeda, Trisha memeluknya. Satu tangan Barra otomatis meraih punggung Trisha, menjaga keseimbangannya.
"Happy graduation!" Trisha tersenyum lebar. "Nih! Gue bawain bunga biar kayak yang lain."
Barra melirik balon yang digoyang-goyangkan Trisha. "Nggak kuliah?"
Trisha langsung mendorong Barra dengan sewot. "Lo jangan bikin gue tambah merasa bersalah. Nih, pegang! Gue mau balik ke kelas!"
"Jangan dulu." Barra menahan Trisha dan mengambil balonnya. "Thank you."
"Eits!" Seorang teman Barra mengulurkan tangan di antara mereka. "Guys, lihat sikon. Pikirin manusia macam gue yang nggak punya pacar buat diajak foto waktu wisuda. Sana nepi! Ck! Peluk-peluk segala! Lepas, nggak? Sini gantian--sorry Barra, bercanda."
Rudy mengedipkan satu mata pada Trisha, lalu tertawa saat aura angker Barra mulai menjadi.
"Nepi sana! Jangan di tengah jalan!" ucapnya hendak pergi, namun Trisha menahannya.
"Kenapa Sa? Jangan minta peluk, lah. Nanti gue nggak selamat sampai rumah," ucap Rudy, yang membuat Trisha memutar bola mata.
"Fotoin dong, Mas." Trisha mengulurkan gawainya. "Fotoin yang bagus, yang banyak."
"Pakai punya gue aja." Barra ganti mengulurkan gawainya.
"Yah, nggak bisa tukeran nomer--canda, Barra. Tuhan!" Rudy berdecak, lalu mulai mengambil foto sesuai arahan gadis itu. "Udah. Banyak banget itu. Gue harus balik, udah ditunggu keluarga gue. Barra, pleasure to know you as my friend, bro. Good luck ke depannya."
Kedua lelaki itu bersalaman sebelum Rudy menyambangi keluarganya dengan tergesa. Barra meraih tangan Trisha dan menariknya ke tepi.
"Habis ini mau kemana?" tanya Trisha. "Kalau mau ke tempat Tante Dilara, gue ik--"
Karena saat itu, Barra memeluknya. Embusan napasnya terasa samar di pundak. Satu telapak tangannya menyelusup di belakang kepala Trisha, sementara yang satu lagi melingkari pinggangnya, memeluknya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
Chick-LitNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...