"Berangkat bareng gue, Sa."
Sedikit pusing karena kurang tidur, gadis itu mengernyit kala membaca pesan Barra.
"Nggak perlu. Nanti sore gue ambil motornya."
"Bismu sering telat."
Trisha tercenung sesaat, lalu membalasnya.
"Udah janjian sama Mas Prima."
Pesan itu tidak dibalas meskipun sudah dua centang biru. Trisha berusaha mengabaikannya dan buru-buru mengirim pesan pada Prima.
"Mas Prima, bisa berangkat bareng?"
Trisha memandangi pesannya, mendadak saja merasa sangat gelisah. Namun pesannya dibalas satu jam kemudian saat Trisha baru saja selesai mandi.
"I'd love to, Sa.
Tapi saya sedang di luar kota saat ini.""Oh, nggak papa.
Nanti aku pakai bus aja.""Motornya kenapa?
Saya kirim taksi, mau?""Nggak perlu. Nggak papa.
Lumayan sering pakai bus, kok.
See you later, then."Trisha melirik jam dindingnya. Jika dia ke halte sekarang, Barra pasti akan melihatnya karena rute berangkat mereka yang satu arah. Dia bisa ikut bus yang kedua saja, hitung-hitung memecahkan rekor pegawai teladan karena terlambat sesekali.
Pukul delapan, Trisha merapikan dress selututnya dan memutuskan untuk berangkat. Ia tersenyum pada para satpam, namun senyumnya memudar saat melihat Barra di sana. Lelaki itu sudah siap dengan kemeja kerja yang dibalut jaket. Rambutnya yang sudah disisir rapi kini sedikit acak karena helm.
"Seriously, what's wrong with you?" desis Trisha saat lelaki itu berdiri menjulang di hadapannya.
"Ini jam delapan," ucap Barra datar. "Mereka bilang lo belum keluar dari tadi. It is not you. Mana Prima?"
"Lo minta satpam buat mata-matain gue?" bisik Trisha tidak percaya.
"Cuma memastikan, Sa."
Trisha mendelik.
"Jadi, mana Prima?"
"Dia ada halangan," ucap Trisha agak jengkel. "Lo nggak terlambat? Kan gue bilang nanti gue ambil sendiri."
"Agenda gue cuma ke proyek." Barra mengulurkan helm. "Sasa?"
Trisha meniup rambut di dahinya dengan kesal, namun akhirnya menerima helm yang diulurkan Barra. Dia tidak bisa mengulur waktu lebih lama. Rapat Athena akan mulai satu jam lagi, dan Dion pasti akan mengunyah Trisha jadi bubur bayi jika gadis itu tidak segera menampakkan diri.
Tapi ternyata, kejutan untuk hari ini belum selesai. Sebab setelah Trisha mengantar Barra di depan Zigma, dia sadar jika lelaki berjaket jeans yang berkendara di belakangnya adalah Prima. Semuanya tambah canggung saat Prima memarkir kendaraan tepat di sebelahnya.
Pagi ini...Prima tampak sedikit berantakan, tidak seperti Prima yang biasanya. Kemejanya tertekuk di beberapa tempat, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak lelah.
"Saya kira kamu naik bus, tapi ternyata bareng Barra." Pembuka percakapan itu cukup membuat Trisha tahu jika Prima telah membuntutinya entah sejak kapan. "Saya sering lihat kalian berangkat bersama."
Akhirnya, Trisha mengangguk. "Tadi malam hujan, dan motorku aku tinggal di rumahnya."
"Motormu kamu tinggal di rumah Barra. Tadi malam," ulang Prima hingga Trisha merinding. "Itu sebabnya kamu minta saya jemput? Jadi, apa yang terjadi tadi malam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
ChickLitNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...