"Saya Amira, calon istrinya Mas Barra."
Sekujur tubuh Trisha mendingin seketika. Telinganya berdengung dan untuk sesaat, gadis itu tidak bisa memikirkan apa-apa.
"Jangan bercanda, Mir. Sana mandi." Suara Barra terdengar sayup-sayup.
Amira terkekeh kecil sebelum bersin keras sekali.
"Mau air hangat?" Trisha tersadar.
"Amira. Panggil Amira saja." Ia berusaha tersenyum meskipun napasnya mulai pendek-pendek. "Kamar mandinya--udah ada air panas, kan? Atau, baru rusak?"
"Nggak rusak. Inhaler-nya di mana?" tanya Barra. Sementara Trisha, lupa jika rumah Barra lebih canggih daripada apartemen studionya. Padahal, ia tadi juga mandi dengan air panas. Tapi otak Trisha sedang berusaha sadar setelah blank sejenak tadi.
Amira menggeleng. "Habis. Tapi ini--nggak apa-apa. Aku numpang mandi."
Amira berjalan ke belakang. Langkahnya gemetar karena kedinginan dan ia bersin berkali-kali.
"Maaf, bisa minta tolong?"
Amira, dengan wajah pucat dan bibir yang membiru, mengintip dari balik dapur. Sebagian besar tubuhnya tertutupi oleh dinding, tapi Trisha jelas melihat paha, bahu dan sedikit belahan payudara terpampang nyata. Perempuan ini hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai handuk.
"Maaf, tapi pakaianku basah. Ada kemeja atau apa pun yang bisa aku pakai?" tanyanya, kentara sekali menahan dingin. "Atau jaket atau apa pun?"
"Pakai punyaku saja." Trisha segera beranjak.
"Oh...ada?" Amira mengangkat alis.
"Ha! Lemari di kamar tamu Barra penuh dengan baju gue, ngomong-ngomong!" Dengan dagu yang sedikit terangkat, Trisha mengambil sepasang kaus dan training miliknya. "Mungkin agak kekecilan. Mbak lebih tinggi dibanding aku, soalnya."
"Nggak masalah," ucapnya ramah.
"Sasa. Just call me Sasa." Trisha menggiring perempuan ini sepenuhnya masuk ke dapur. "Kalau kurang nyaman, bilang aja. Aku carikan yang lain."
"Kamu tinggal di sini?"
"Ap--oh, nggak. Cuma sering nginep di sini, jadi punya banyak cadangan pakaian."
"Hm, begitu. Aku rasa ini cukup. Terima kasih, ya," ucapnya sebelum kembali ke kamar mandi.
Trisha mengipasi diri sendiri kala wajahnya mendadak sangat panas.
"Dia pernah ke sini?" tanya Trisha saat bergabung dengan Barra di meja makan.
"Pegawai baru Happyhouse."
"Oh..."
Trisha kembali menyantap makanannya dan membiarkan Barra membawa semua piring kotor ke belakang, sementara dia membersihkan meja.
"Maaf merepotkan malam-malam begini."
Amira berjalan di belakang Barra dan duduk di samping Trisha, sementara Barra sudah kembali ke ruang kerjanya. Suara wanita itu terdengar lebih kuat, namun wajahnya masih pucat dengan bibir yang membiru samar.
"Aku ada asma, dan memaksa diri kedinginan seperti tadi sama sekali nggak bagus," ucapnya sambil mengusapkan handuk di rambutnya yang panjang. "Terima kasih untuk ini. Kapan-kapan, kita jelas perlu makan siang bareng. Ngomong-ngomong, rumahmu di mana?"
"Kompleks Cempaka. Mbak Amira di mana?"
"Aku di belakang rumah sakit pusat."
"Ah...lumayan ya. Mbak Amira, tahu aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
Literatura FemininaNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...