Pikiran Trisha mendadak kosong. Detik berikutnya, Trisha menarik pipi Barra kuat-kuat.
"Jangan. Ngomong. Macam. Macam," desis Trisha gemetar.
Lelaki itu mengamati Trisha dengan tatapan yang sulit dimengerti. Sebelum tanpa kata, Barra mengangkatnya ke meja buffet di samping mereka hingga Trisha terkejut. Lelaki itu menumpukan tangan di kanan dan kiri Trisha, lalu menunduk dalam seraya mengembuskan napas panjang.
Dari jarak sedekat ini, Trisha kembali menyadari betapa berantakannya Barra. Gadis itu meraih tisu dan menyeka keringat di pelipis lelaki itu.
"Pulang, Bar," ucap Trisha. "Lo capek banget sampai ngomong ngaco begitu. Seputus asa apa sih sampai segitunya jadiin gue tameng? Amira maksa banget, ya? Gue perlu ngomong sama dia? Biar gue kasih paham dia, hm?"
Barra mengangkat wajahnya. Matanya sedikit merah hingga Trisha mengusapnya cemas.
"Capek gini lho, Bar. Pulang, tidur!"
Namun Barra justru meraih kursi dan duduk di hadapan Trisha, meraih kaki gadis itu dan memijitnya lembut.
"Proyek belum selesai. Gue harus balik ke Bali besok pagi."
"Hah?" Trisha membelalak. "Terus ngapain lo ke sini?"
"Make sure you're okay."
Gadis itu mendengkus meskipun matanya memanas. "Lo kan punya ponsel."
"Lo yang nggak punya ponsel," balik Barra.
"Ya habisnya--" Trisha merengut. "Memangnya kalau gue bawa ponsel, lo bakal tanya kabar gue? Nggak, kan? Lo pergi aja gue nggak tahu!"
"Jadi maumu gimana?"
"Gue--" Trisha berdeham kala suaranya bergetar. "Gue mau banyak hal, tapi kayaknya itu nggak mungkin. Jadi jangan khawatir, gue oke kok. Nginep sini aja deh, Bar. Udah malem banget ini."
"Lo satu-satunya orang yang merasa kalau itu nggak mungkin," ucap Barra tenang.
"Memangnya lo tahu apa yang gue mau?"
"Sure."
Trisha mendengkus. "Dari mana? Lo bisa baca pikiran?"
"Sasa baru saja menunjukkannya, untuk kesekian kali." Barra menurunkan kaki Trisha dengan hati-hati. "Punya koyo?"
Rasa penasaran Trisha tergusur oleh pertanyaan Barra. Gadis itu mengangguk dan turun dengan hati-hati. "Thank you. Sebentar, gue ambilin selimut. Nggak mandi dulu?"
"Gue nginep di Happyhouse."
"Eh, jangan!" Trisha menahan kemeja Barra. "Kalau butuh apa-apa gimana? Lo kelihatan berantakan banget, tahu! Mending jangan sendirian, deh."
"Sasa," Mata lelaki itu kian memerah. "Gue udah berusaha menepikan diri dan kasih semua kesempatan yang ada, tapi kali ini gue nggak bisa lagi. I've reached my limit. What do you think about us?"
"Eh, kita--kenapa?" Trisha mendadak merasa takut.
"You and me, Sasa. Be my wife, will you?"
Pegangan Trisha di kemeja Barra terlepas.
"Take your time. Gue ke Happyhouse, dan jangan pernah lupa bawa ponsel lagi."
Degup pelan pintu yang menutup membuat Trisha mengerjap. Barra sudah tidak ada di apartemennya. Tangan yang sedari tadi kaku di udara kini terkulai di sisi, dan Trisha mulai merinding hebat.
==
"Hasil audit udah keluar?"
Suara Leo membuat Barra menoleh. Lelaki yang masih mengenakan baju batik itu menerima berkas dari Barra dan duduk di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
ChickLitNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...