Langkah kaki Juni membuat Trisha tersadar bahwa dia menggambar sketsa Barra sejak tadi. Ia langsung melemparkannya ke tempat sampah tanpa basa-basi.
"Banyak pikiran?" tanya Juni yang kembali memilah berkas-berkasnya.
"Divisiku kekurangan orang akhir-akhir ini."
Gadis berkaus pendek itu mengikat rambut seadanya, beberapa helai rambutnya terjatuh lemas di kening dan leher yang ditempeli koyo. Baru pukul sepuluh pagi, namun Dion sudah menyerap jiwa Trisha seperti vampir yang rakus. Ia baru saja melepaskan Trisha setelah merecokinya sejak pukul tujuh pagi, lewat telepon.
Trisha mengambil kertas bekas lain dan mulai coret-coret tidak jelas. Ia sedang duduk santai di depan televisi bersama Juni yang sibuk memilah berkas-berkas kasusnya, sementara Guntur mengunci diri di ruang kerja.
Sub divisinya memang kekurangan orang. Nora cuti hamil, dan Mika baru akan kembali selasa besok. Belum lagi tugasnya untuk proyek Athena dan mengerjakan user interface untuk platform kepenulisan Renjana. Walaupun ini akhir pekan dan ia pulang ke rumah orangtuanya, bukan berarti Dion melepaskannya dengan sukarela. Trisha merasa akhir-akhir ini dia menua lebih cepat.
Padahal dulu waktu kecil, Trisha melihat kehidupan orang dewasa itu menyenangkan. Punya uang sendiri, bisa beli barang yang diinginkan, ramai dan punya banyak teman. Dia bisa seperti Juni yang memakai berbagai macam dress anggun dan menutupinya dengan blazer. Sekarang dia merasa masa kecil jauh lebih menyenangkan. Tidak perlu terlalu banyak pikiran, tanpa beban. Mungkin hal paling serius waktu Trisha kecil hanyalah Guntur yang memarahinya setiap Trisha ketahuan melompat pagar.
"Katanya capek, kenapa malah di sini? Sana istirahat aja."
Karena jika dia tidak melakukan aktivitas apa pun, isi kepala Trisha justru semakin membuatnya lelah. Namun Trisha hanya meringis pada Juni.
"Siapa itu?" Juni melongok saat bel pintu berbunyi. "Lihat coba, Sa."
Gadis itu beranjak ke depan, lalu matanya membulat. Trisha buru-buru mundur ke balik tembok untuk melepas koyonya.
"Hai," sapa Leo dengan cengiran khasnya. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, terlihat rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana jeansnya.
"Mas Leo, ada perlu apa?" tanya Trisha.
"Kebetulan ada proyek di dekat sini. Jadi kepikiran mampir, sekalian minta izin bawa kamu ke nikahan besok. Kamu udah bilang orangtuamu?"
Trisha menggeleng. "Rencanaku nanti bilangnya."
"Nggak masalah. Biar aku aja yang bilang. Jadi, apa ayah sama ibumu ada?"
"Ada. Tapi...Mas Leo tahu alamat rumah ini darimana?"
"Aku tahu lebih banyak tentang kamu daripada yang kamu duga, Trisha," jawab Leo ringan.
"Begitu? Aku merasa tersanjung." Trisha tertawa kecil. "Masuk dulu, Mas. Aku panggilkan Papa Mama."
"Tolong sambil bawa ini, Sa," ucapnya sambil mengulurkan sebuah paperbag.
"Eh...thank you. Ini apa?"
"Martabak. Aku nggak ngerti mama papamu suka martabak manis atau gurih. Jadi aku bawa aja dua-duanya," ucapnya canggung.
"Mereka suka semuanya, kok. Thank you ya. Masuk dulu, Mas."
"Siapa?" tanya Juni saat Trisha kembali ke dalam.
"Itu..., ada yang mau ketemu sama Mama Papa." Trisha berkata. "Sekarang, di depan. Papa harusnya udah break, kan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/253245752-288-k409178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
Literatura FemininaNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...