Begitulah yaa, begitulaah.
Happy sunday, happy reading
🌸🌸🌸===
"Like it. Thank you."
Trisha mengangkat alis ketika Prima mengirimkan foto berisi kemeja dan dasi pemberian Trisha.
"But this is too much for a spilled coffe. So let me take you for dinner tomorrow."
Ng--sebentar...ini, nganu--
Trisha menggaruk lehernya dengan canggung dan memutuskan untuk membalas pesan Prima besok saja.
Gadis itu kembali fokus pada pekerjaannya hingga satu jam kemudian, Trisha memutuskan untuk beristirahat. Gadis itu turun tangga sambil memijiti lengannya yang pegal, lalu berhenti saat melihat pintu depan masih terbuka lebar. Trisha iseng mengintip, dan langsung bertemu dengan sepasang mata milik Barra.
Lelaki itu melirik Trisha sebelum menggerakkan bidaknya. "Checkmate."
"Lagi?" Guntur menyipit sebelum menemukan Trisha. "Baru turun?"
"Lembur," jawab Trisha sebelum pergi ke dapur. Gadis itu mengambil minum untuk dirinya sendiri, lalu berdecak pelan.
Trisha memakai cardigan untuk menutupi kamisol tidurnya yang hanya sebatas paha, lalu menyiapkan semangkuk kurma dan kacang pistachio untuk mengisi camilan yang habis.
Bukan hal aneh jika Barra kemari. Dulu, Guntur yang mengajari Barra bermain catur. Lalu setelah kekalahan pertama Guntur, ayah Trisha menganggap Barra sebagai lawan yang menantang. Guntur suka sekali mengajak Barra bermain catur sambil mengobrol banyak hal.
"Jam berapa ke sini?" Trisha bertanya sambil mengisi cangkir keduanya dengan teh. Ia juga menuangkan satu cangkir untuk dirinya sendiri.
"Delapan," jawab Barra.
"Mau bergabung?" Guntur bertanya. "Lihat duel kalian pasti menyenangkan."
"Masih banyak kerjaan. Enjoy your time, gentlemen." Trisha mengecup pipi Guntur.
Hah! Lebih baik suaminya besok bisa mengimbangi ayahnya dalam bermain catur. Jika tidak, ayahnya akan sering meminta Barra ke rumah untuk sekedar membunuh waktu. Itu pasti akan sangat canggung.
Ha. Ha. Suami.
==
"Sudah jadi?"
Trisha mengangguk dan menyerahkan angka tiga puluh yang baru saja ia bentuk dari sterofoam.
"Sempurna." Prima duduk di sampingnya. "Spanduk dan posternya sudah dicetak."
"Iya. Aku udah lihat tadi," gumam Trisha.
"Hm. Kemejanya nyaman. Dasinya juga bagus-bagus," ucap Prima hingga Trisha menoleh. Lelaki itu memang memakai kemeja pemberian Trisha. "Gimana kalau besok-besok, kamu saja yang pilih kemeja saya?"
Trisha nyengir kaku, berusaha keras menganggap kalimat Prima hanyalah ungkapan apresiasi.
"Tentang dinner, itu maksudnya mau ngobrolin HUT?" tanya Trisha pada akhirnya.
Prima tersenyum kaku. "Are you serious, Gemma Naratrisha?"
Trisha mengangkat bahu. "Aku melihat banyak kemungkinan di sana. Apakah aku perlu bawa gunting sama selotip karena Mas Prima ngajak aku makan sambil bikin dekorasi? Ataukah aku perlu bawa laptop karena ternyata Mas Prima ajak Mas Dion, terus kita bertiga mulai diskusi proyek Athena? Atau--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
ChickLitNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...