3000 words, darling. Enjoy
🐻❄️🐻❄️🐻❄️
Pukul sebelas malam, Trisha baru saja pulang. Dia mengantuk luar biasa, badannya remuk redam, dan kalimat Nora membuatnya terjaga hingga larut malam. Seakan belum cukup menderita, motornya mulai berulah hingga baru bisa ia nyalakan setengah jam kemudian.
Namun meskipun ia memaksa lembur hingga semalam ini, nyatanya target tetap tidak tercapai hingga Trisha marah pada diri sendiri. Gadis itu berjalan gontai sambil memijit pelipisnya, lalu berhenti kala melewati lobi.
Barra tertidur di sofa dengan wajah lelah. Ia bersedekap erat, mungkin demi menahan hawa dingin dari AC yang berada tepat di atasnya. Ransel dan sebuah paperbag merosot di kaki, sementara kemeja biru gelap yang ia kenakan terlihat sedikit berantakan.
Trisha meneruskan langkahnya dengan cepat, kemudian berhenti dan menatap Barra, meneruskan langkah lagi, kemudian berhenti lagi hingga ia frustrasi sendiri. Akhirnya, gadis itu masuk ke unitnya dan keluar sambil membawa selimut.
Diletakannya selimut yang masih terlipat di samping Barra dan berbalik pergi. Namun baru beberapa langkah, Trisha kembali hanya untuk menghamparkan selimutnya di atas tubuh Barra.
"Dia udah makan belum, sih?" Gadis itu mengamati Barra dengan penuh dilema. "Kayaknya juga belum sempat mandi."
Barra membuka mata, dan Trisha mati kutu. Mata yang mengantuk itu melirik Trisha, yang kini bingung harus berbuat apa.
"Dingin." Trisha menunjuk AC dengan kaku. "Lo--ngapain di sini jam segini?"
Lelaki itu terdiam sejenak, lalu meraih paperbag-nya. "Oleh-oleh."
"Nggak perlu," ucap Trisha pelan. "Itu buat anak Happyhouse aja. Pulang gih, udah malem ini. Jangan tidur di sini, nanti masuk angin. Udah ya, gue balik dulu."
"Sa,"
Trisha berbalik enggan, hanya untuk berhadapan dengan Barra yang ternyata sudah berdiri.
"Anak-anak udah dapat," gumamnya seraya menyelipkan paperbag di tangan Trisha.
Lelaki itu menatapnya sedemikian rupa hingga Trisha takut kalau-kalau Barra hendak mengungkit obrolan mereka beberapa hari lalu. Namun yang ada, Barra justru menepuk pelan puncak kepala Trisha, dan berjalan menuju lift tanpa menoleh lagi.
"Kamu jatuh cinta tanpa sadar."
Trisha cepat-cepat masuk ke apartemennya sendiri.
==
Sasa's
Paperbag itu berisi banyak pie susu dan sebuah tas rotan dengan nama Trisha yang terbuat dari akar yang meliuk, ditempelkan di salah satu sisinya.
Trisha juga menemukan sebuah amplop berlogo Zigma, terlipat dan lusuh karena tertindih oleh-oleh, dan tidak akan ditemukan jika Trisha tidak membongkar paperbag itu hingga habis. Tercantum nama Barra di sana, beserta beberapa berkas yang tidak dimengerti Trisha.
Gadis itu meletakannya di atas meja dengan pertimbangan kalau-kalau Barra kembali karena menyadari ada berkas yang tertinggal. Tapi hingga hari berganti, lelaki itu tidak kunjung tiba. Trisha menatap berkas itu dengan penuh dilema, namun pada akhirnya ia meraih gawai.
"Barra, ada berkas keselip di paperbag. Lo berangkat ke kantor atau langsung ke lapangan? Gue sebentar lagi berangkat."
Trisha memutuskan untuk menitipkannya di lobi saat pesannya tidak kunjung dibalas. Lagipula, ini lebih bagus karena dia tidak harus bertemu Barra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Surrender (PUBLISHED)
ChickLitNamanya Barra. Jangankan hangat bak bara api, sahabat Trisha ini adalah manusia sekaku batu arca. Tapi toh Trisha tidak peduli. Sebab selama bertahun-tahun, Barra adalah tempat ternyaman Trisha. Hingga satu persatu hal datang mengusik, dan menyadar...