Part 22. Dia baik

33 2 0
                                    


***

Tio POV

Setelah mengantar kan Airin pulang, meski hanya sampe gang, Aku langsung pulang kerumah. Airin belum mengijinkan aku kerumahnya. Aku tidak akan memaksakannya walau sebenarnya aku ingin bertemu orang tuanya.
Sesampainya di rumah aku langsung pergi ke kamar. Entahlah, sepulang sekolah aku lebih suka mengurung diri di kamar dan bermain game sampe puas.
Kurebahkan tubuh di kasur dengan seragam masih melekat di tubuhku.
Hari ini aku tak lelah tersenyum, sambil memandang langit kamar aku terus memikirkan kejadian tadi di sekolah.
Namun sekejap senyumanku berubah jadi wajah musam. Memikirkan perjodohan yang di lakukan orang tuaku. Sungguh aku mencintai Airin bukan Jasmine. Kenapa mereka menjodohkan aku seperti mereka dulu. Pemikiran yang sangat kolot menurut ku. Sekarang jaman sudah berubah, sudah bukan tentang jodoh menjodohkan. Tapi tentang bagaimana mencari pasangan sendiri. Yang mau menerima kekurangan kita.
Belum tentu aku bahagia dan cocok dengan orang yang di jodohkan denganku. Beruntung kalau dapatnya kaya Bunda, lah kalau beda gimana?. Hidup tidak akan selalu sama.
Seperti nya aku harus membicarakan ini dengan mereka. Aku gak mau di jodohkan seperti mereka.
Aku langsung terbangun dari kasur dan langsung menuju keluar kamar.
Ku arah kan pandangan keseluruhan isi rumah, namun yang di cari tidak ada. Hanya ada Bi Inah yang sedang mencuci piring di dapur. Dan Tina pun seperti nya belum pulang sekolah.
"Bi Inah, Bunda sama Tina pada kemana?" Tanyaku saat sudah ada di dapur dan tidak terlalu jauh dari nya.
"Oalah Den ngagetin Bibi aja." Ucapnya yang sudah menghadap ke arahku dengan mengusap-ngusap dadanya karena kaget.
"Hehe maaf Bi." Ucapku tak enak sambil mengusap tengkukku.
"Iya gapapa Den. Nyonya belum pulang dari kantor, dan Non Tina tadi udah pulang tapi pergi lagi." Jelasnya.
"Bunda tumben lama di kantor. Biasanya kan habis nganterin makan siang, satu jam kemudian langsung pulang." Tanyaku.
"Bibi kurang tahu Den. Bibi lanjut cuci piring lagi ya Den." Izin nya kepadaku.
"Oh iya Bi. Kalo gitu Tio mau ke Kantor Ayah dulu ya Bi. Assalamualaikum." Pamit ku dan mencium tangannya. Karena bagaimanapun Bi Inah seperti ibu kedua bagi ku. Dia dengan ikhlas ikut merawatku dari kecil.
Aku pun kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan langsung melesat ke kantor dengan motor kesayanganku.
Motor ku terus melaju membelah jalanan yang tampak sepi karena belum waktunya jam kerja berakhir.
Sesampainya di kantor aku langsung memarkir kan motor di tempat parkir. Lalu segera masuk dan tak lupa memasang senyum saat berpapasan dengan satpam dan karyawan kantor ini.
Saat sudah sampai aku langsung menyapa sekertaris Ayah.
"Selamat sore Mba?"
"Selamat sore juga Nak Tio." Ucapnya ramah sambil berdiri. Sekertaris Ayah yang sekarang tampak masih muda. Sekertaris yang lama sudah mengundurkan diri karena ingin fokus mengurus keluarga. Tapi tak jauh beda, sekertaris yang sekarangpun memakai hijab.
"Mau ketemu Bundanya ya?"tanyanya lagi dengan senyuman.
"Iya mba." Jawabku.
"Silahkan masuk Nak Tio." Ucapku dengan senyuman yang belum pudar.
Langsung ku ketuk pintu kerja sang Ayah. Sekarang Ayah sudah sepenuhnya mengurus perusahaan karena sang Kakek sudah pensiun. Dan Ayah tidak hanya mengerjakan satu perusahaan namun dua, karena sang Kakek dari pihak Bunda juga sudah pensiun. Beruntung nya perusahaan mereka di dalam bidang yang sama. Jadi Ayah lebih bisa menghandle kedua perusahaan ini. Dan rencananya beberapa tahun ke depan. Dua perusahaan besar ini akan di gabung menjadi satu.
"Iya masuk."
Setelah mendengar jawaban dari dalam, aku langsung membuka pintu.
"Assalamualaikum." Salamku.
"Walaikum salam." Jawab mereka serentak.
Tiba-tiba tubuhku mendadak kaku. Saat mataku dan dia beradu.
Namun tak lama aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain, dan di sana ada Bunda dan Tina dan Ayah ada di kursi kerjanya.

Ada apa ini!

"Sayang, sini Salim, ko diem aja di pintu." Ucap Bunda. Aku langsung tersadar dan melangkah maju menyalami mereka kecuali Jasmine.
Setelah itu aku langsung duduk di samping Tina.
"Tumben nak datang kesini." Ujar Ayah.
"Sapa dong temennya." Ujarnya lagi.
"Maksudnya apa ini Ayah, Bunda?" Tanya ku tanpa mendengar perkataan Ayah barusan.
Terlihat Ayah menghela napas.
Tina yang duduk di samping ku terlihat gusar. Mungkin dia sudah menyadari situasi saat ini.
Tunggu. Aku langsung melirik Tina, keningku berkerut tanda sedang berpikir. Tina yang menyadari di tatap oleh ku diapun melihat kearah ku.
"Kamu tau dek pertemuan ini?" Tanyaku dengan nada berusaha selembut mungkin. Meski tetep terdengar mengintimidasi.
"Tio sayang." Kali ini Bunda yang memanggil ku. Aku langsung menatap Bunda meminta penjelasan.
"Dengar kan Ayah dulu." Ucap Bunda.
"Mau sampai kapan kamu bersikap kaya gini." Ucap Ayah memulai percakapan.
"Kamu sudah dewasa. Sudah tidak pantas main-main. Sebentar lagi kamu lulus sekolah." Jelasnya.
"Ayah tidak akan mempermasalahkan kisah percintaan mu. Namun kamu harus sadar diri. Kamu akan menjadi pewaris utama perusahaan ini. Ayah melakukan ini untuk kebaikan kamu. Ayah tidak mau karena hal ini kamu jadi lelaki lemah hanya karena cinta semu kamu."
Kalimat nya seperti panah menusuk jantung ku. Bagaimana bisa Ayah berpikir seperti itu.

Airin Dan Tio (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang