Part 16. Ayah dan anak

202 13 2
                                    

Bukannya mendapatkan titik terang. Namun malah mendapatkan masalah baru.
Rupanya Jasmine menaruh hati pada Tio sampai-sampai ia mulai menaruh jarak pada Airin.
Sudah puluhan kali Airin mencoba berbicara pada Jasmine. Dan berpuluh kali juga Jasmine menolak berbicara pada Airin.
Tidak ada lagi teman yang bisa Airin ajak bicara. Semuanya tidak bersahabat padanya. Bahkan sekarang Jasmine mulai berteman dengan Sonia dan Ririn.
Apa yang sudah ia perbuat hingga teman-temannya membencinya.
Apa sebegitu jijiknya mereka terhadapnya. Seperti kuman yang harus dibasmi.
Bagaikan itik buruk yang terkucilkan. Airin hanya bisa duduk termenung dikelasnya. Sampai-sampai ia tidak sadar jika ada yang duduk disebelah bangkunya.
"Sebegitu asik kah melamun, ada pangeran yang datang malah di cuekin." Tio yang duduk disebelah Airin nampak tak dihiraukan. Karena sang empunya masih terlena dalam kesendiriannya.
Ditepuknya pundak Airin pelan. Dan langsung menyadarkan Airin ke alam sadar. "I-iya."
Tio tersenyum hangat. Ingin sekali ia mencubit pipi sang kekasih. Namun sungguh tidak memungkinkan melihat mimik wajahnya yang nampak tak bersahabat.
"Hari ini para guru-guru lagi ada rapat. Jadi kita bebas deh." Ucap Tio berusaha mencairkan suasana.
"Hmmm."
Tio tidak suka jika ia dikesampingkan. "Kenapa hanya gumaman yang kau lakukan."
Airin menyernyitka kening. "Apa maksudmu."
"Tidak. Aku hanya tidak suka dicuekin." Jelasnya dengan wajah so memelas.
Airin tersenyum kecut.
"Kita akhiri saja semuanya." Ucap Airin tanpa melihat ekspresi yang Tio tunjukan.
"Tidak ada yang harus diakhiri." Ujar Tio dengan suara yang mulai tinggi.
"Hubungan ini hanya menyakiti semua orang. Tolong jangan egois."
"Kita sudah bahas ini. Dan aku tetap pada pendirianku. Tidak ada yang harus di akhiri." Ucapnya langsung berdiri.
"Kenapa kamu begitu egois?" Tanya Airin.
"Lihatlah nanti Airin. Keegoisan inilah yang akan mempersatukan kita."
"Keegoisan hanya akan menghancurkan segalanya."
"Bersabarlah Airin." Setelah mengucapkan itu,  Tio langsung pergi.
"Kenapa kau tidak melihat sisi keterpurukan ku Tio? Karenamu semua tambah kacau." Ucapnya lirih.
Airin berdiri lalu menggendong tasnya dan langsung pergi.

***

Ia memang egois. Tanpa memikirkan orang lain yang ada di sekitarnya. Namun apalah daya jika cinta yang mengendalikan. Semua akan berubah. Yang jahat akan menjadi baik jika ada cinta didalamnya. Begitupun sebaiknya yang baik akan menjadi jahat jika cinta yang mendominasi dirinya.
Terlihat Rama yang sedang berjalan menuju parkiran dan sudah menenteng tas kebesarannya.
"Rama lo mau pulang sekarang?" Tanya Tio saat mereka berpapasan.
"Yoi. Gue mau kerumah Raka dulu." Jawabnya dengan senyuman kasnya.
"Ngapain lo kerumah Raka?"
"Maen aja. Lo mau ikut kagak?" Ajak Rama.
"Boleh deh. Tapi gue anterin Airin pulang dulu." Ujarnya.
"Ya udah nanti lo nyusul aja."
"Iya."
Rama dan Tio langsung terpisah. Rama melangkah untuk pulang sedangkan Tio melangkah untuk sang kekasih.
Sesampainya di kelas, Tio langsung mengambil tasnya dan langsung menghampiri kelas Airin.
Namun saat Tio sudah ada dikelas Airin. Airin sudah pulang terlebih dahulu, terlihat dari tasnya yang sudah tidak ada. Kelasnya pun sudah kosong.
Lebih baik ia pulang terlebih dahulu sebelum kerumah Raka.
Sesampainya di rumah Tio langsung memarkirkan motornya asal. Toh ia akan pergi lagi.
"Loh tumben Nak jam segini udah pulang?" Tanya Anna saat melihat putra masuk.
Tio mencium tangan kanan Anna.
"Iya bun. Guru-guru lagi ada rapat jadinya murid dibebasin."
"Oh gitu."
"Ya udah. Tio keatas dulu ya."
Saat Tio mau ke kamarnya tanpa sengaja ia melihat ruang kerja ayahnya sedikit terbuka. Niat hati ingin menutup pintu tapi Tio malah di suguhkan dengan pemandangan yang sangat indah.
Ayahnya tengah bersujud dengan baju kokonya yang berwarna putih, sarung batik dan peci berwarna hitam. Tampak indah di pandang dan sejuk di hati. Saat ayahnya kembali duduk Tio cepat-cepat pergi, takut Ayahnya melihat keberadaannya.
Saat didalam kamar tiba-tiba hatinya merasa tenang. Hanya dengan melihat orang shalat hatinya langsung tenang dan sejuk.
Dilirik jam yang tertempel didinding. Pukul 10.00 WIB. Waktunya shalat dhuha. Ayahnya shalat dhuha? Sungguh ia sangat gembira. Ia pun ingin shalat dhuha. Dibukanya seragam sekolah dan langsung mengambil baju koko berwarna biru di lemari. Dan langsung bergegas ke kamar mandi.
Setelah keluar kamar mandi Tio langsung memasang sejadahnya dilantai lalu memakai peci berwarna hitam.
Didalam shalatnya Tio menangis. Begitu menyesalnya apa yang ia perbuat.
Setelah shalat telah usai. Tio keluar kamar menuju ruang kerja ayahnya.
"Ayah?"
Tian yang sedang memeriksa E-mail langsung melepaskan kacamatanya saat putra sulungnya memanggil.
Ada kebahagian tersendiri saat putranya mau kembali memanggilnya dengan nada lembut.
Dan alangkah bahagianya saat melihat anaknya memakai pakaian shalat. Tian tak kuasa menahan senyum. "Kemarilah Nak."
Tio pun melangkah mendekat. Saat ayahnya berdiri Tio langsung memeluk ayahnya. "Maafkan Tio ayah." Ucapnya disela tangisnya.
"Tanpa kau meminta maaf pun. Ayah akan selalu memaafkanmu."
"Yang harusnya minta maaf adalah ayah. Ayah sudah membuatmu begitu marah pada ayah. Sungguh ayah menyesal."
"Tidak-tidak. Ayah tidak usah merasa menyesal. Ayah adalah ayah yang selalu Tio banggakan."
Tian melepaskan pelukannya. Disentuhnya pundak Tio.
"Dan kamu adalah putra kebanggaan ayah."
Mereka sama-sama melemparkan senyum.
Ayah dan anak adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Anak akan selalu membayangkan dirinya akan seperti ayahnya. Dan seorang ayah akan selalu membanggakan anak-anaknya.

***

Airin Dan Tio (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang