Part 13. Keegoisan

285 19 5
                                    

Tio pov

Angin malam terus menerpa wajahku.
Rasa dingin menusuk masuk kedalam kulitku.
Ya! Di sinilah aku berada di sebuah taman yang sudah tidak terurus lagi dan hanya diterangi oleh rembulan malam
Rasa takut sudah tidak terpikirkan lagi. Sekarang yang aku butuhkan adalah menyendiri, untuk menenangkan jiwaku yang lagi kalut.
Pikiranku terus memikirkan kejadian satu jam yang lalu.
Dimana dengan teganya orang tuaku menjodohkanku. Bahkan tidak memberitahuku terlebih dahulu.
Apakah hak ku sebagai anak sudah tidak ada. Sehingga mereka tidak perlu mendengarkan pendapatku.
Sungguh! aku merasa tidak berguna.
"Dimana hakku sebagai seorang anak sekarang?" Tanyaku lirih dengan pandangan lurus ke depan dan dua tangan saling mengepal.
"Tidakkah mereka memikirkan perasaanku! Mereka sangat egois."
Ucapan yang keluar dari mulutku tidak jauh dari kekesalanku terhadap mereka.
Aku tersenyum sumbang. "Aku yakin! niat mereka tidak hanya ingin menyatukan dua keluarga tapi ada kaitannya dengan bisnis."
Ucapan demi ucapan terus keluar dari mulutku.
Rasa kesal menyelimuti hatiku.
"Aaaaaaahhhhhhh." Berteriak mungkin bisa menangkan pikiranku.
Ku jambak rambutku frustasi.
"Ini benar-benar gila." Ucapku menahan emosi.
"Tidak seharusnya mereka melakukan ini."
Drrrt drrrt drrrt...
Ponsel bergetar dalam saku celanaku menandakan ada panggilan masuk.
Ku raih kotak kecil itu dan melihat nama Tina yang tertera dalam ponselku.
Ku tekan tombol hijau.
"Hallo. Bang Tio ada dimana sekarang? Pulang ya, kasihan Bunda dari tadi nangis terus." Tanyanya di sebrang sana.
"Bang. Bang Tio." Panggilnya.
"Hallo. Hallo. Bang masih disitukan?" Aku hanya mendengarkan tanpa ada niat untuk menjawab.
"Ka pulang ya. Tina mohon." Ujarnya dengan suara lirih. Aku tahu pasti Tina sedang menahan tangis.
Langsung kujauhkan ponsel dari telingaku. Sungguh aku tidak tega melihat Bunda dan adikku menangis tapi apa boleh buat aku harus menenangkan pikiranku. Karena jika tidak, Bisa saja emosiku tidak terkontrol.
Kulirik jam yang menempel di tangan kiriku.
Jarum jam menunjukan angka 10 malam. Tidak terasa sudah hampir tiga jam aku berada di sini.
Aku berdiri dari dudukku dan melangkah menghampiri motor merahku.
Ku dudukan tubuhku di atasnya. Menatap langit sejenak, Lalu menyalakan mesin dan langsung menjalankan motor.
Motorku terus melaju melewati jalanan yang sudah nampak sepi.
Sesampainya di rumah aku langsung memarkirkan motor kedalam garasi. Lalu masuk kedalam rumah yang nampak sangat sepi.
Namun baru saja melewati anak tangga pertama langkahku terhenti. Saat melihat sosok ayahku yang sedang berdiri di ujung tangga. Dengan mata tajamnya dan rahangnya yang mengeras menahan amarah.
Rasa takut muncul di hatiku.
Aku menarik napas panjang sebelum menghampirinya di ujung tangga.
Sekuat tenaga aku mulai berjalan.
Saat mau melewatinya dia menahan pundakku sambil berkata. "Ikut ke ruangan Ayah sekarang."
Meski sebuah bisikan namun kata-kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan penekanan.
Aku mulai mengikutinya masuk kedalam ruangan kerja miliknya.
"Duduk." Perintahnya dan langsung ku turuti.
Aku duduk di depan Ayahku namun terhalang meja.
"Katakanlah!"
Ucapnya membuatku menyernyitkan keningku.
Apa maksud dari kata-katanya! Benar-benar membuatku bingung.
"Maksud Ayah?" Tanyaku ragu.
"Berikan Ayah alasan yang logis perihal penolakan yang kamu berikan!"
Dingin! Itulah Ayahku. Saat dia marah jangankan melihat, berbicara saja tidak ada tutur kata yang lembut.
"Tidak ada yang perlu kukatakan Ayah. Semuanya sudah jelas bahwa aku tidak mau di jodohkan."
Dia tersenyum sumbang. "Kamu pikir Ayah bodoh."
"Ma-maksud Ayah?" Tanyaku gugup. Sungguh aku sangat takut dalam situasi seperti ini.
"Ayah beri kamu kesempatan untuk berbicara. Sebelum ayah yang mengatakannya." Ucapnya tegas tanpa bisa di bantah.
"Tidak ada yang perlu di bicarakan."
Ucapku berusaha setenang mungkin.
"Benarkah?" Tanyanya tidak percaya sambil menaikan satu alisnya. "Kamu yakin?" ucapnya sekali lagi.
Aku terdiam. Apa sebenarnya yang Ayah pikirkan, Kenapa dia berbicara seperti itu?! Dia memang sulit di tebak.
"Baiklah jika tidak ada yang kamu di bicarakan. Biar Ayah sendiri yang mengatakannya."
Aku hanya bisa terdiam membisu di tempat. Tanpa tahu harus berbuat apa.
"Kamu menolak perjodohan ini karena kamu sedang mencintai seorang gadis bukan?" Dia kembali melayangkan pertanyaan.
"Dan gadis itu berteman dengan Jasmine?" Ujarnya.
Apa maksudnya? Apakah yang di maksudnya adalah Airin. Jika iya! Dari mana dia mengetahuinya.
"Gadis itu bernama Airin Anasya. Dia sangat pandai sehingga dia mendapatkan beasiswa. Benarkan Tio?"
Deg. Benar! Airinlah yang dia maksud.
"Iya!" Jantungku berdetak dua kali lipat.
"Cinta! Kamu percaya soal cinta. Yang kata orang cinta itu buta. YA! cinta membuatmu buta. Apa kamu tidak memikirkan ulang, Mencintai beda status itu sangat bodoh. Kamu tau itukan?"
"Dengar Tio! Ayah tidak akan tinggal diam. Jika kamu bersikeras melawan perintah Ayah."
"Dan aku juga tidak akan tinggal diam jika Ayah berani menyentuh dia." Ucapku berani.
"Berani sekali kamu." Ucap Ayahku dengan marah.
"Ku mohon Ayah. Jangan ganggu dia." Ucapku memohon.
"Ayah tidak akan mengganggu hubungan kalian. Asalkan dia sama seperti keluarga kita."
"Kenapa Ayah selalu mengukur dengan materi?" Aku sungguh tidak menyangka orang yang sangat aku hormati ternyata punya sisi lain.
Ayahku sendiri sangat materialistis.
"Dunia memang seperti itu. Jika kita tidak pandai-pandai dalam berbisnis maka kita akan menjadi sampah! Paham kamu." Jelasnya tanpa jeda.
"Sampah tidaknya tidak tergantung pada bisnis. Tapi pada hati masing-masing." Jelasku padanya.
"Memang benar apa yang kamu katakan. Tapi Ayah tegaskan sama kamu selektif lah dalam memilih pasangan." Ucapnya.
"Karena salah pilih saja akan berakibat fatal." Ucapnya lagi lalu berlalu meninggalkanku sendiri di ruangan kerjanya.
"Kita lihat saja Ayah. Siapa yang akan menang."
Akupun pergi meninggalkan ruang kerja yang menjadi saksi bisu pertengkaran antara aku dan Ayahku.

***

Airin Dan Tio (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang