Renovasi kantor kami akhirnya selesai. Hasilnya sangat memuaskan. Terutama bagian showroom yang sangat memanjakan mata. Jiwa desain Salwa tersalurkan untuk mendadaninya. Perpaduan warna, letak ornamen, dan barang-barang yang kami pamerkan benar-benar pas.
Ada sudut khusus yang kami sediakan untuk konsultasi dengan pelanggan, terutama kalau mereka memesan furnitur yang didesain khusus. Sekarang ini banyak pelanggan yang seperti itu. Mereka tidak mau memiliki benda yang sama dengan orang lain. Tidak masalah, selama dompet mereka terisi kartu-kartu yang menandakan bahwa mereka memang mampu membiayai keinginan itu, kami akan memfasilitasi hasrat memiliki furnitur impian itu.
Sekarang kami juga punya ruang kerja sendiri-sendiri. Lebih kecil daripada ruangan yang dulu kami pakai bertiga, tetapi intinya kami tidak bergabung lagi saat bekerja. Pertimbangan awal untuk memisahkan ruang kerja tentu saja bukan karena privasi. Kami tidak pernah merasa perlu punya privasi, saking sudah terbiasa dengan kehadiran masing-masing.
Ruang kerja yang terpisah akan memudahkan kami fokus dalam bekerja. Tidak ada lagi rumpian dadakan yang akan mendistraksi dan kemudian akan membuang banyak waktu. Pelanggan-pelanggan premium yang menginginkan privasi saat berkonsultasi karena tidak nyaman melakukannya di showroom, bisa kami arahkan ke ruang kerja kami. Pemisahan ruang kerja benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kinerja, yang akhirnya akan berpengaruh positif pada pundi-pundi keuangan kami.
Pintuku yang mendadak terbuka membuat aku mengalihkan perhatian dari laptop. Widi berdiri kebingungan di sana.
"Ada apa?" tanyaku setelah Widi hanya melongo beberapa detik.
"Inspeksi mendadak tuh, Mbar. Kamu sudah ngirim laporan ke kantor Bu Joyo, kan?"
"Sudah kok." Beberapa hari lalu aku mengirim berkas fisik untuk menyusul surel yang sudah kukirim lebih dulu. Tentu saja aku tidak main-main soal laporan kepada investor. Kami ingin kerja sama yang langgeng dengan pemilik modal. Dan investasi jangka panjang hanya akan terjadi kalau uang mereka kami jaga serta kembangkan dengan baik. "Bu Joyo sendiri yang datang inspeksi?" Aku bangkit dari kursi.
"Bukan. Abimana yang datang. Dia lagi lihat-lihat showroom tuh."
"Kok ditinggal sih?" Kami memang sudah punya beberapa pegawai untuk menangani pelanggan di showroom, tetapi orang-orang Bu joyo tentu saja tidak datang untuk bertemu pegawai kami. "Harusnya kamu temenin dia. Suruh anak-anak aja yang panggil aku."
Widi terkikik. "Aku malas berhadapan dengan investor, Mbar. Aku kan nggak nguasain data. Kerjaan aku kebanyakan desain aja. Ntar malah kita kelihatan nggak kompeten kalau dia nanyain data, dan aku bengong aja."
Aku bergegas menuju tempat Abimana sedang mengamati barang-barang yang dipamerkan. Widi mengikutiku.
"Selamat siang, Pak," sapaku dengan level keramahan yang kusetel maksimal. Bagaimanapun, Abimana adalah perwakilan tumpukan uang Bu Joyo.
"Selamat siang." Abimana menoleh padaku. "Showroom ini jauh lebih bagus daripada yang saya bayangkan setelah kalian menyebutkan soal renovasi," pujinya. "Akan lebih bagus lagi kalau kalian menempelkan logo dan nama brand di beberapa tempat, jadi kalau ada pelanggan yang mengambil foto, logo kalian akan terlihat juga. Jangan hanya memasang loga dan nama brand di depan saja."
"Kami sudah memesan logo-logo itu kok, Pak." Tentu saja Salwa sudah memikirkan hal itu. Dia lumayan detail soal interior kantor. "Semoga bisa selesai dan dipasang dalam minggu ini." Aku melebarkan tangan, mengarahkan Abimana ke ruang kerjaku. "Kalau Bapak sudah selesai melihat-lihat, kita bisa bicara di dalam." Semua data yang mungkin ingin Abimana lihat, setelah terlihat puas mengamati fisik kantor ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilih Siapa?
General FictionPilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya, tapi nggak salah dong kalau Ambar mengamati, menimbang, dan membaca perasaannya sendiri lebih awal, jadi dia tidak akan salah seandainya d...