Tiga Puluh Enam

11.1K 3K 129
                                        

Aku update ulang ya.

**

Malam sudah turun saat Abi mengantarku pulang. Aku menghabiskan banyak waktu di rumahnya, tetapi tidak sempat terlibat interaksi yang intens dengan keluarga intinya karena ada banyak orang di sana. Virzha adalah satu-satunya anggota keluarga Abi yang lumayan lama menemaniku ngobrol. Kedua orang tua Abi sibuk dengan anggota keluarga lain yang seumuran, sedangkan Adel jelas lebih tertarik pada makanan daripada ngobrol denganku. Dia seperti orang yang sudah terlalu lama puasa dan baru diizinkan berbuka.

"Nanti datang ke rumah ya, Ambar," kata Bu Joyo saat kami berpisah tadi. "Biar ngobrolnya enak. Suasana hari ini nggak ideal banget untuk berkenalan dengan keluarga Abi. Maaf kalau kesannya kamu nggak disambut."

Selama tidak menyangkut hubungan asmara, aku bukan tipe baperan. Jadi, aku mengerti acara hari ini fokusnya adalah rumah baru Abi dan arisan keluarga, bukan diriku. Keluarga besar Abi pastilah orang-orang sibuk yang jarang saling mengunjungi, sehingga acara arisan menjadi spesial sebagai ajang silaturahmi yang terjadwal. Tidak penting siapa yang undiannya jatuh dan mendapatkan uang arisan, yang utama adalah menjaga ikatan kekeluargaan tetap terjalin erat.

"Apa yang Ibu bilang tadi benar," Abi mengutip kata-kata ibunya dalam perjalanan menuju rumahku. "Acara hari ini beneran nggak ideal untuk memperkenalkan kamu pada keluargaku. Seharusnya aku sudah memperkirakan kalau suasananya akan seramai tadi karena acara arisan di rumah orang tuaku juga biasanya memang mirip acara hajatan."

"Nggak usah dibahas lagi. Aku ngerti kok. Daripada ngomongin situasi yang nggak ideal tadi, aku lebih penasaran tentang alasan kamu nggak mengakui Bu Joyo sebagai ibu kamu waktu aku menanyakan hal itu."

Abi meringis dan mengerling sejenak. Seharusnya kami mungkin tidak membahas masalah itu di dalam mobil yang sedang melaju, tapi pertanyaan itu sudah telanjur terlontar. Batas kesabaranku menahan rasa penasaran memang tipis untuk hal-hal yang mengusik rasa ingin tahuku. Apalagi aku sudah menekan pertanyaan itu dalam-dalam sejak beberapa jam lalu, saat mengetahui hubungan antara Abi dan Bu Joyo.

"Sebenarnya aku nggak bermaksud menyembunyikannya," jawab Abi. "Untuk urusan pekerjaan, aku dan Ibu berusaha menjalaninya seprofesional mungkin. Tidak semua ide yang aku ajukan diterima Ibu karena pertimbangan aku adalah anaknya. Banyak perusahaan keluarga akhirnya mengalami kebangkrutan karena manajemen kekeluargaan yang pengelolaannya nggak profesional."

"Bukan itu yang aku tanyakan!" aku buru-buru menyela penjelasan Abi. Jawabannya melenceng jauh dari pertanyaanku. Aku juga mengerti tentang profesionalisme dan manajemen usaha. Meskipun skalanya jauh lebih kecil dari perusahaan keluarga Abi, aku juga seorang pengusaha. Aku tidak akan mendirikan usaha bersama Salwa dan Widi kalau tidak paham cara mengelola bisnis. Itu sama saja dengan membuang uang percuma. "Nggak hanya sekali lho aku bertanya tentang hubungan kamu dengan Bu Joyo."

"Aku paham pertanyaan kamu, Mbar. Aku mau menjelaskan alasannya secara runut saja, karena aku yakin kamu nggak menangkap kesan kalau aku dan Ibu punya hubungan di luar pekerjaan di awal-awal perkenalan kita."

Abi benar. Aku tidak akan mencurigai dia adalah anak Bu Joyo kalau tidak jadian dengan dia dan melihat rumah mewahnya yang kami kerjakan furniturnya, juga gaya hidupnya yang terasa akan dipaksakan kalau dia hanya sekadar tangan kanan Bu Joyo.

"Aku memang nggak pernah bilang 'iya' setiap kali kamu menanyakan hubunganku dengan Ibu, tapi juga nggak pernah bilang 'tidak', kan? Waktu itu aku pikir akan seru kalau kamu tahu hubunganku dengan Ibu saat aku memperkenalkan kalian secara resmi."

"Kamu nggak suka kejutan!" gerutuku, mengulang apa yang dikatakan Virzha tentang Abi. "Orang yang nggak suka kejutan pasti berpikir berkali-kali untuk memberi kejutan pada orang lain."

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang