Restoran tempat aku dan Abimana makan siang memang tidak jauh dari kantorku. Tempat yang belum pernah sekali pun aku dan teman-temanku kunjungi. Entah mengapa. Mungkin karena tampak luarnya tidak terlihat menarik. Alih-alih instagramable, restoran itu malah terlihat seperti rumah joglo tua. Atau mungkin juga karena kaum milenial seperti kami akan memilih makan di mal kalau sedang tidak mengandalkan aplikasi untuk memesan makanan. Mal berarti sekalian belanja atau sekadar cuci mata.
Ternyata restoran rumah joglo berparkiran luas itu jauh dari bayanganku saat menilainya dari penampilan luar. Bagian luar yang aku anggap kuno hanya sebagai gerbang saja. Di dalam sangat luas. Selain ruangan seperti halnya restoran lainnya yang terdiri dari meja-meja yang dikelilingi kursi-kursi, ada juga beberapa saung jati yang tampak kokoh dengan berbagai ukuran untuk pelanggan yang menginginkan privasi. Taman di antara saung-saung dan ruangan utama restoran ditata apik. Ada kolam ikan dan air mancur mini juga. Aku mendadak merasa kuper. Bisa-bisanya aku tidak tahu ada tempat seperti ini di dekat kantorku.
"Kita duduk di sana saja." Abimana menunjuk salah satu saung berukuran kecil. Melihat dari cara pelayan menyambutnya, dia pasti salah seorang pelanggan tetap.
Aku mengikuti langkah Abimana. Irama gending mengalun memenuhi udara. Seperti usaha kami yang memetakan pelanggan, restoran ini jelas punya pangsa pasar sendiri yang disasar. Dari kursi dan saung yang banyak terisi, terlihat jelas kalau restoran ini punya pelanggan setia.
"Makanan rumahan," kata Abimana lagi saat aku mengamati buku menu yang disodorkan pelayan.
Makanan rumahan dengan harga restoran hotel bintang lima, gerutuku dalam hati ketika aku melihat harga makanan. Bahan-bahan yang dipakai di sini pasti bahan organik kualitas premium. Pelanggan tidak perlu khawatir dengan pestisida ataupun konsumsi lemak jenuh karena harga tahu dan tempe goreng semahal ini tidak mungkin digoreng menggunakan minyak sawit. Makanannya jelas sehat, tetapi kondisi dompet saat keluar dari sini yang sekarat.
Kalau mau menabung, ini jelas bukan restoran yang bisa dikunjungi setiap hari untuk makan siang. Setidaknya untukku. Bisa-bisa John Wick gagal mendapat jantung baru dalam dua tahun ke depan, seperti targetku. Aku tidak mungkin setega itu pada cinta dalam hidupku. Perempuan romantis habis sepertiku lebih memilih makan nasi, garam, kecap, dan kerupuk demi menyelamatkan belahan jiwaku. Ya mau bagaimana lagi, aku tidak pernah setengah-setengah dalam urusan cinta. John Wick benar-benar beruntung mendapatkan pasangan seperti aku, yang rela kere demi dirinya.
Karena Abimana lebih dulu memesan, dan pesanannya tampaknya cukup untuk memberi makan satu keluarga kecil yang bahagia, aku tidak menambah menu lain. Mubazir dan kasihan sama uang yang dipakai untuk membayar. Aku tidak mungkin minta makanannya dibungkus kalau tidak habis. Memutuskan kere demi kelangsungan hidup John Wick tidak berarti aku tidak punya gengsi juga sih.
"Beneran nggak mau pesan yang lain?" tawar Abimana saat aku menyerahkan buku menu pada pelayan yang mencatat pesanannya. "Empalnya enak, tapi nggak saya pesan karena lagi nggak pengin makan daging."
"Sudah cukup, Pak." Aku mengulas senyum sopan. Abimana tadi memesan 5 macam lauk. Itu saja mustahil dihabiskan, apalagi kalau aku menambah menu lain.
"Panggil Abi saja," katanya ketika pelayan sudah pergi. "Bapak kesannya terlalu formal. Kita juga nggak sedang di kantor dan membahas pekerjaan."
Senyumku perlahan memudar. Sebenarnya apa yang dikatakannya tidak terlalu aneh sih. Abimana mungkin risi dipanggil "Bapak" di tempat umum seperti ini karena kesannya dia sedang makan bersama stafnya. Tetapi melihat dari pembawaannya yang tampak serius dan formal, aku pikir dia tidak peduli hal seperti itu. Panggilan "Bapak" memberi jarak. Menurutku Abimana memang tipe orang yang menciptakan batasan. Terlihat jelas dari tanggapannya saat dia menghindar dan memilih tidak menanggapi interaksi dengan Widi yang ceplas-ceplos membuka obrolan yang sifatnya pribadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilih Siapa?
General FictionPilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya, tapi nggak salah dong kalau Ambar mengamati, menimbang, dan membaca perasaannya sendiri lebih awal, jadi dia tidak akan salah seandainya d...