Delapan

19K 4.6K 194
                                    

"Dimakan sekarang ya, mumpung masih panas." Mama meletakkan mangkuk di atas nakas. Aroma bubur ayam yang wangi menguar memenuhi udara. Mama lantas duduk di tepi ranjang. "Lain kali jangan hujan-hujanan lagi. Kayak anak kecil aja!" lanjutnya menggerutu.

"Ini memang mau sakit aja sih, Ma, bukan karena hujan-hujanan," aku membela diri. Biasanya aku tidak pernah bermasalah dengan hujan. Sejak kecil aku suka bermain hujan. Meskipun Mama dulu selalu mengomel saat aku melakukannya, dia terpaksa harus menelan kedongkolan karena aku melakukannya bersama ayah.

Ayah berpendapat bahwa anak yang terlalu steril malah akan gampang sakit, jadi dia membiarkanku bermain kotor-kotoran di dekatnya, saat dia sedang mengerjakan mobil pelanggan di bengkel.

Jika Mama suka mendadaniku, Ayah malah mengajakku ikut merayap di bawah mobil yang sedang dia perbaiki. Hadiah ulang tahun dari Mama adalah benda-benda yang sangat girly untuk mengimbangi kado Ayah yang tidak pernah jauh dari hal yang berbau mobil. Saat aku kecil, dia memberiku mobil-mobilan remote control, dan setelah aku beranjak remaja, hadiah itu berubah menjadi miniatur mobil klasik. Kurasa itu menjelaskan kecintaanku pada John Wick. Dia menjadi semacam penghubung antara aku dan Ayah.

Pola asuh yang sangat berbeda dari kedua orangtua membuatku tumbuh jadi anak mandiri. Aku akrab dengan mesin, tetapi juga merawat diri dan lumayan menikmati berdandan agar terlihat cantik seperti perempuan lain pada umumnya.

"Kayaknya sudah waktunya kamu membeli mobil baru," Mama melanjutkan omelannya. "Kalau kamu terlalu sayang untuk menjual mobil tua itu, taruh aja di garasi. Mobil itu udah nggak sanggup diajak jalan jauh. Pakai saat weekend aja biar bebannya nggak berat."

"Jangan salahin John Wick karena aku sakit, Ma. Imunku aja yang sedang jelek." Kemarin John Wick lagi-lagi mogok di jalan. Aku tidak mungkin menunggu sampai hujan reda untuk memeriksa mesinnya. Alhasil aku harus hujan-hujanan memperbaikinya.

"Kalau kamu sayang uang, Mama bisa beliin kok kalau cuma MPV," Mama masih belum menyerah untuk menyingkirkan John Wick. "Asal jangan minta mobil mewah aja."

"Sama anak semata wayang kok hitung-hitungan sih?" Aku pura-pura menggerutu.

"Memangnya tabungan ASN kayak Mama bisa buat beli mobil mewah?" Mama balas mengomel. "Banyakan juga tabungan kamu."

Aku terkekeh. "Salah sendiri Mama nggak mau pegang uang bengkel."

"Itu kan peninggalan Ayah buat kamu, Mbar. Untuk modal usaha kamu juga, kan? Gaji Mama masih cukup kok untuk biaya hidup kita. Ntar kalau Mama udah pensiun, baru deh numpang hidup sama kamu kalau gaji pensiunan nggak cukup untuk kebutuhan rumah."

Tentu saja Mama bergurau. Walaupun ASN, tetapi gajinya lumayan karena dia adalah kepala bagian di kantornya. Gaji dan tunjangan ASN memang tidak bisa dibandingkan dengan pengusaha yang mapan, tapi karena Mama tipe wanita karir dan ibu rumah tangga sederhana yang rajin berhemat, tabungannya pasti lumayan banyak. Apalagi Mama baru benar-benar membiayai hidup kami setelah Ayah meninggal.

"Kamu lihat-lihat mobil yang cocok untuk kamu deh," lanjut Mama. "Atau minta Pandu yang nyariin. Dia kan punya banyak relasi dealer. Mungkin aja dia bisa dapat diskon bagus."

"Ujung-ujungnya tetap ke diskon ya, Ma?" godaku.

Mama tersenyum. "Kalau bisa dapat yang murah, kenapa harus yang mahal? Kalau mau hambur-hamburin duit, tunggu kamu nikah sama konglomerat dulu." Dia kembali menyodorkan mangkuk. "Makan dan habisin sebelum dingin. Mama harus siap-siap ke kantor. Kalau mau makan sesuatu, bilang sama si Mbok saja. Jangan pesan makanan dari luar dulu."

Aku menuruti perintah Mama. Aku juga tidak suka bubur dingin. Bubur itu hakikatnya dimakan saat sedang mengepul. Setelah minum obat, aku tidur lagi.

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang