Sepuluh

17.3K 4.9K 439
                                    

Kami mengerahkan hampir semua tukang untuk mengerjakan furnitur rumah Abimana setelah dia menyetujui desain yang sudah dirapikan dan ditambahkan detail oleh Salwa dan Widi. Tetapi karena barangnya banyak, dan pabrik furnitur bukanlah dapur restoran yang bisa menyiapkan pesanan pelanggan dalam waktu kurang dari setengah jam, barang-barang tersebut belum semua selesai ketika Abimana berkunjung ke kantor kami.

"Santai saja, saya kan sudah berkali-kali bilang kalau nggak buru-buru," katanya saat aku minta maaf sekali lagi ketika menemaninya melihat langsung progres pengerjaan furnitur yang dipesannya. Ranjang, sofa, beberapa meja, dan cermin sudah dalam tahap penyelesaian akhir. Yang rumit dan lumayan makan waktu adalah pengerjaan built in wardrobes.

Penampilan ruangan itu dalam desain yang dikerjakan berdua oleh Salwa dan Widi tampak luar biasa, tetapi jujur, aku agak khawatir kalau tukang kami melakukan kesalahan pengukuran karena untuk built in wardrobes serumit itu. Salah ukur sedikit saja bisa fatal ketika dipasang. Salwa yang beberapa kali aku suruh ukur ulang untuk mengepaskan ukuran yang dibuatnya di ruangan yang disiapkan Abimana untuk benda itu dengan ukuran tukang sampai mengomel karena merasa aku meragukan kemampuan tukang kami yang sudah terbukti mumpuni.

Jadi jujur, aku sedikit dongkol saat mendengar Abimana dengan enteng bilang, "santai saja". Kalau dia memang santai dan tidak terburu-buru, kenapa minggu lalu dia menghubungiku untuk menanyakan progres pengerjaan barang pesanannya? Dan sekarang dia malah datang sendiri untuk mengecek seolah tidak percaya kami memprioritaskan dirinya sebagai pelanggan. Kami pengusaha, jadi ke mana pun aroma uang berembus kuat, kami tentu akan mengejarnya ke sana. Dan sekarang ini Abimana adalah pelanggan yang paling menguarkan aroma rupiah yang memabukkan. Semakin cepat kami menyelesaikan pesanan, semakin cepat pula dia membereskan sisa pembayaran yang sudah dipanjarnya.

Karena aku bukan Salwa, aku menelan kedongkolan dan menggantinya dengan senyum. Bagaimanapun, pelanggan adalah raja, jadi biarkan mereka tetap merasa di singgasana. Senangkan hati mereka.

"Begitu barangnya siap, kami akan menghubungi Bapak. Built in wardobes-nya akan makan waktu untuk dipasang karena akan dirakit di ruangan yang sudah Bapak siapkan. Jadi harus ada orang yang yang mengawasi tukang kami saat mereka mengerjakannya di rumah Bapak." Aku percaya tukang kami jujur, tetapi tetap saja lebih nyaman bekerja kalau ada pihak pelanggan yang ada di rumah itu, bukan dari pihak kami saja.

"Nanti kasih tahu saja kapan siap, saya akan mengawasi sendiri pemasangan dan pengaturan barang di rumah."

"Tapi kami melakukannya di hari kerja, Pak." Orang sesibuk Abimana pasti tidak akan menghabiskan waktu dan menjadi tidak produktif di hari kerja hanya untuk mengawasi tukang.

"Nggak masalah kok. Kalau sudah tahu waktunya, saya bisa membuat penyesuaian jadwal."

"Baik, Pak." Memangnya aku bisa bilang apa lagi? Peraturan pertama dalam dunia usaha adalah tidak boleh mendebat pelanggan. Fungsi kami sebagai produsen adalah memberikan informasi sesopan dan sejelas mungkin, bukan beradu argumen.

Setelah melihat langsung proses pengerjaan furnitur pesanannya di pabrik, aku mengajak Abimana kembali ke ruanganku. Salwa yang tadi keluar saat Abimana datang baru saja mengirim pesan kalau dia sudah kembali ke kantor. Dia bisa bertemu Abimana dan membahas furnitur pesanan laki-laki itu lebih lanjut. Seharusnya Salwa yang menemani Abimana tur di pabrik karena dia lebih mengerti furnitur yang didesainnya sehingga bisa memberikan penjelasan detail. Widi ada di kantor, tetapi aku tidak berani membiarkannya bersama Abimana. Bisa-bisa dia salah fokus dan membangun percakapan yang melenceng dari profesionalitasnya sebagai produsen, dan lupa jika Abimana adalah pelanggan yang tidak boleh dikorek wilayah pribadinya.

"Sudah makan siang?" pertanyaan Abimana saat kami menapak undakan yang menghubungkan pabrik dan gedung kantor mengejutkanku.

"Ehm... belum, Pak," jawabku ragu-ragu. Aku tadi baru hendak membuka aplikasi untuk memesan makan siang saat Abimana tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya.

"Saya juga belum. Tadi ada meeting di dekat sini, jadi sempatin mampir untuk lihat progres pengerjaan barang pesanan saya. Mau makan siang bareng?"

Aku menggaruk dahi yang tidak gatal. Abimana bukan orang asing. Dengan statusnya sebagai investor dan pelanggan, beberapa bulan terakhir kami lumayan sering bertemu. Frekuensi komunikasi kami melalui telepon malah lebih sering lagi. Tapi pertemuan dan komunikasi itu sifatnya formal karena berhubungan dengan pekerjaan. Hanya sekali kami bertemu secara kebetulan ketika mobilnya mogok.

Jujur saja, menurutku, Abimana bukan tipe easy going yang membuat seseorang merasa nyaman dan gampang akrab. Dia terkesan serius, tidak banyak bicara hal yang tidak penting sehingga menimbulkan perasaan sungkan saat berinteraksi dengannya. Percakapan kami yang lumayan lepas hanya saat aku membantu memperbaiki mobilnya waktu itu. Itupun karena aku yang memulainya.

Aku tidak yakin bisa menikmati makan siang bersama Abimana karena isi percakapan kami pasti tentang pekerjaan semua. Bukannya aku keberatan, karena aku bisa belajar dari seseorang yang lebih banyak tahu, tapi sejak kemarin aku sibuk dengan laporan dan angka-angka jadi lumayan mumet. Rencana awal kalau Abimana tidak berkunjung tadi adalah mendinginkan otak dengan memesan makanan dan ngobrol ngalor-ngidul bersama teman-temanku yang juga lumayan sibuk seiring dengan kemajuan usaha kami.

"Sudah punya janji lain ya?" Abimana kembali bertanya ketika aku tidak langsung merespons ajakannya.

Aku buru-buru menggeleng. "Enggak ada janji lain, Pak. Cuma belum kepikiran soal makan siang saja." Aku pura-pura melihat pergelangan tangan untuk mengecek jam, seolah benar-benar tidak tahu sekarang pukul berapa. "Wah, memang sudah waktunya makan siang." Semoga aktingku tidak terlalu buruk karena nada suaraku tidak terdengar meyakinkan.

"Kita bisa makan di restoran dekat sini saja kalau kamu lagi sibuk, jadi nggak butuh waktu lama di perjalanan."

"Bersama Salwa dan Widi juga kan, Pak?" Aku tidak mau Abimana berpikir kalau aku menganggap ajakannya eksklusif hanya berlaku untukku, karena ini toh usaha bersama. Kalau dia berniat mengajak pemiliknya makan siang bersama, itu berarti dia mengajak kami semua.

"Ooh...," Abimana mengernyit mendengar jawabanku. "Tentu saja. Kita bisa makan siang berempat." Dia terlihat ragu sendiri dengan ide itu. Aneh. "Saya tunggu di depan saja ya."

Aku buru-buru masuk untuk menemui Widi dan Salwa. Keduanya sedang cekikikan sambil mendesis kepedasan. Aku langsung cemberut saat melihat rujak yang sedang mereka hadapi. Bisa-bisanya mereka makan rujak tanpa menungguku. Rujak berada di urutan pertama jajanan favoritku.

"Punyamu ada di kulkas," kata Salwa sebelum aku mengomel. "Kami makan duluan karena Widi udah ngiler."

"Rujak kan enaknya dimakan bareng-bareng," balasku sebal. "Makan rujak dan kepedasan sendiri itu nggak seru!"

"Sorry deh." Tidak ada penyesalan sama sekali pada tampang dua orang sahabat durhaka ini.

"Abimana ngajak makan siang tuh!" Aku menyampaikan tujuanku menemui mereka. Tidak enak membiarkan Abimana menunggu lama.

"Kamu yakin dia ngajak kita bertiga, bukan kamu aja?" tanya Salwa.

"Ngajak kita juga dong, Wa," sambut Widi. "Kalau nggak, ngapain Ambar ngasih tahu kita?"

Salwa mengibas. "Paling juga si Ambar yang ngusulin. Dia kan selalu buta hati sama orang yang lagi PDKT sama dia. Nggak heran jodohnya jauh."

Widi cekikikan. "Kirain yang jauh itu Timbuktu aja. Ternyata jodoh Ambar juga ya?"

Aku berdecak sambil memutar bola mata. "Kayak kamu udah punya pacar aja. Cepetan, nggak enak ditungguin!"

"Kamu aja yang kencan, nggak usah ngajak-ngajak." Salwa mengusirku dengan gerakan tangannya.

"Jangan lupa bungkus buat kita ya, Mbar. Mumpung dibayarin," imbuh Widi.

Aku berbalik meninggalkan kedua orang gila itu. Aku memang sedang tidak dalam suasana hati yang bagus untuk melakukan percakapan basa-basi, tetapi tidak punya pilihan. Jadi, mari hadapi dan bersikap profesional.

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang