LIMA BELAS

16.4K 4.9K 434
                                    

Abimana memesan risotto dan ossobuco. Wah, menu Italia untuk makan malam. Jarang-jarang aku mendapat kemewahan seperti ini. Aku pikir Abimana pengagum ayam dan tahu-tempe, karena itulah yang kami makan di restoran tempo hari.

 Aku membantu Abimana memindahkan makanan tersebut dalam piring yang dikeluarkannya dari rak dapur bagian atas. Peralatan dapurnya ternyata lumayan lengkap untuk ukuran orang yang belum menempati rumah barunya.

"Ibu saya yang mengisinya," kata Abimana saat aku menyatakan keheranan. "Katanya buat jaga-jaga kalau saya makan di sini. Ternyata memang berguna. Mau dipanasin dulu?" dia menunjuk microwave.

Ibunya benar-benar ibu teladan, tapi apa sih yang tidak bisa dilakukan dengan uang saat menyangkut benda? Lagi pula, di zaman digital seperti sekarang, belanja barang apa pun bisa dilakukan dari rumah. Atau kalau benar-benar kelebihan uang dan tidak mau repot, ada jasa personal shopper. Tinggal kasih saja spesifikasi barang yang akan dibeli, dan voila! Barangnya langsung muncul di depan mata. Uang sama ampuhnya dengan mantra sim salabim dan abrakadabra. Siapa yang membutuhkan jin dalam botol kalau punya rekening yang angka nolnya bikin tersesat untuk dihitung?

"Masih hangat kok." Misiku adalah makan secepat mungkin sehingga bisa segera kabur dari sini. Menghangatkan makanan hanya membuang waktu dan menunda kepergianku.

Abimana mengambil dua botol air mineral dan dua buah gelas sebelum menyusulku duduk di meja bar. Meja makannya tidak termasuk dalam barang yang kami antar hari ini, jadi pilihannya memang hanya meja bar di dapurnya yang supermodern dan besar.

Ini adalah dapur impian semua perempuan yang hobi memasak. Tidak seperti Mama yang suka menghabiskan waktu untuk mencoba resep baru di akhir pekan, aku lebih sering bercengkerama dengan cinta dalam hidupku. Aku tidak membenci dapur. Aku bisa memasak masakan simpel dan tahu jenis bumbu sehingga tidak akan bingung saat disuruh memilih jahe di antara bumbu rimpang lain seperti lengkuas, kunyit, dan kencur. Aku juga tahu beda antara merica dan ketumbar. Hanya saja, memilih antara memasak dan mengutak-atik John Wick adalah perbandingan yang sangat tidak imbang. Semua yang mengenalku tahu kalau John Wick adalah prioritas hidupku.

"Seharusnya saya tanya dulu kamu mau makan apa sebelum memesan makanan," kata Abimana.. Pandangannya tertuju pada piringku. Aku memang hanya mengisi piringku setengahnya.

"Risotto-nya enak banget," aku buru-buru menjelaskan. "Saya tipe yang lebih suka nambah daripada menyisakan makanan." Aku kan tidak mungkin mengisi piringku sampai penuh. Bisa merusak imejku sebagai perempuan manis dan sopan, meskipun tidak ada imut-imutnya.

"Syukurlah kamu suka." Abimana tampak lega.

"Saya suka semua makanan enak, Mas. Apalagi kalau gratisan."

Abimana tersenyum mendengar candaan garingku. Melihatnya tersenyum dan ramah seperti sekarang, sulit membayangkan jika dia orang yang sama dengan laki-laki yang menghindari salaman pada pertemuan kami yang pertama.

"Senang bertemu perempuan yang menunya bukan salad untuk makan malam."

"Can't relate." Aku menggeleng. Gaya hidupku belum sesehat itu. "Perempuan-perempuan yang Mas kenal pasti tidak butuh tenaga esktra untuk mendorong mobilnya yang mogok di tengah jalan."

Senyum Abimana makin lebar. "Mungkin saya saja yang tidak punya banyak teman perempuan. Oh ya mobil kamu beneran istirahat atau sedang bermasalah?"

Perhatian Abimana pada John Wick membuatku tersentuh. Tidak banyak orang yang tulus pada John Wick. Hampir semua orang melihatnya sebagai racun dalam hidupku. Tukang porot nomor wahid. Mama ingin menyingkirkan John Wick dan menggantinya dengan mobil mainstream. Salwa dan Widi menjadikannya olok-olok yang nista. Sedangkan Pandu hanya menganggap John Wick sebagai benda yang konsisten harus diperbaiki.

"Hanya diistirahatkan karena takut mogok saat ke sini kok. Tapi John Wick akan segera punya jantung baru," aku merasa lebih leluasa bercerita tentang John Wick saat melihat respons Abimana.

"Wah, akhirnya. John Wick kamu pasti senang banget."

"Pastinya!" Kalau John Wick tahu arti uang, dia memang seharusnya berterima kasih padaku. Tapi kembali lagi pada pasal pertama dan utama dalam hubungan, cinta itu tanpa pamrih. Cinta yang menuntut balas itu tidak tulus.

"Mesinnya langsung dipesan dari Ford?" tanya Abimana.

Aku mengangguk. "Iya, supaya dijamin original. Kalau beli di tempat lain takutnya malah dikirim mesin abal-abal yang nggak sesuai dengan spesifikasi. Sulit komplainnya." Walaupun Abimana tidak mengerti mesin, dia tampaknya familier dengan merek mobil. Dia tahu perusahaan yang memproduksi John Wick. Obrolan kami tentang otomotif tidak berjalan satu arah. "Hanya yang terbaik untuk John Wick."

"John Wick beneran sangat beruntung."

"Memang." John Wick memang tidak salah memilih aku yang jadi bucinnya.

Saat makanan di piringku habis, aku baru menyadari kalau aku ternyata tinggal lebih lama daripada yang aku rencanakan. Aku menunggu sampai Abimana menghabiskan makanannya. Setidaknya aku harus menawarkan diri untuk mencuci piring. Aku tidak sedang makan gratisan di restoran, yang kalau sudah makan bisa ditinggalkan begitu saja.

"Tidak usah," Abimana langsung menolak tawaranku untuk mencuci piring yang kami pakai. "Saya bisa mencuci piring sendiri kok. Saya juga pernah tinggal jauh dari rumah, jadi sudah terbiasa mandiri."

Aku malah tidak pernah merasakan jadi anak kos. Pengalamanku tinggal jauh dari rumah sebatas hanya waktu KKN dan liburan saja.

Aku lalu menghabiskan minumanku dan berdiri canggung karena tidak enak meninggalkan meja bar yang berantakan.

"Mau minum kopi?" Abimana menawarkan sambil menyusun piring kotor.

Aku lantas mengumpulkan kotak makanan yang tadi hanya disisihkan agak jauh setelah isinya dipindahkan ke piring, dan membuangnya ke tempat sampah. Berdiri mematung mengawasi Abimana bekerja rasanya seperti nyonya besar.

"Terima kasih, tapi nggak usah. Saya harus pulang sekarang." Aku melihat pergelangan tangan dengan sengaja, dan pura-pura terkejut. "Sudah malam."

Abimana mengiringiku menuju ke depan setelah meletakkan piring kotor ke dalam bak cuci piring. Dia mengantarku sampai ke depan pagar, tempat aku memarkir mobil Pandu. Aku menekan remote.

"Maaf karena kamu malah jadi lembur di rumahku." Abimana membuka pintu mobil untukku.

"Saya yang harus berterima kasih karena sudah disuguhin makan malam," aku balas berbasa-basi."

"Hanya makan ala kadarnya yang dipesan online. Kapan-kapan kita makan malam sungguhan ya?"

Aku menelengkan kepala menatap Abimana. Apakah itu kode PDKT seperti yang sering disebutkan Salwa? Benarkah Abimana tertarik padaku?

Salwa sialan. Dia sudah meracuni pikiranku!

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang