Sebenarnya aku sudah kehilangan selera untuk makan malam. Benakku yang penuh membuat perutku tak dihinggapi rasa lapar. Apalagi aku sudah minum secangkir kopi dan mengudap sepotong bolu saat ngobrol dengan Salwa di kafe.
Tetapi karena tidak ingin membuat Abi bertanya-tanya kenapa aku tampak tak bersemangat saat bersamanya, aku lantas memesan steik salmon saat pegawai restoran menyodorkan buku menu. Berbanding terbalik dengan steik daging, porsi steik salmon di restoran ini ala kadarnya. Jadi tidak akan sulit menghabiskannya walaupun sedang tidak nafsu makan.
"Tadi lembur periksa laporan?" tanya Abi setelah pegawai restoran pergi membawa catatan pesanan kami. Tadi kami tidak sempat ngobrol di mobil karena Abi sibuk bicara di telepon. Dia menyalakan speaker sehingga aku ikut mendengar percakapannya. Urusan kantor. Sepertinya Abi terburu-buru meninggalkan tempat pertemuan sehingga dia tidak sempat berkoordinasi dengan stafnya. Akibatnya dia memberikan perintah melalui telepon. Walaupun Abi tidak mengatakan bahwa dia bergegas untuk menemuiku, tetapi aku merasa seperti itu. Dan rasanya menyenangkan dijadikan prioritas.
"Maunya sih begitu, tapi aku tadi malah kebanyakan ngobrol sama Salwa," jawabku jujur. Semoga saja Abi tidak menanyakan isi percakapan kami, karena aku tidak suka kalau harus berbohong. Aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya, kan? Itu mengundang masalah baru. Menumpuk masalah tidak ada dalam urutan teratas daftar hal yang ingin kulakukan sekarang. "Jadi laporannya belum beres."
Tarikan bibir Abi tampak lebar. "Perempuan itu multi tasking, tapi gampang juga terdistraksi."
"Dan yang ngomong begitu dengan percaya diri adalah laki-laki tulen yang nggak pernah punya pengalaman jadi perempuan."
Senyum Abi menjelma menjadi tawa kecil. "Ibuku, adikku, dan Rizky sudah cukup untuk dijadikan sampel untuk menyadari soal muti tasking dan fokus yang gampang pecah itu."
Aku ikut tertawa karena tahu kalau apa yang dikatakan Abi benar. Kebanyakan perempuan memang gampang terdistraksi. Aku salah seorang di antaranya. Itulah salah satu alasan mengapa aku, Salwa, dan Widy harus pisah ruangan supaya bisa semakin produktif seiring dengan kemajuan usaha kami. Berkumpul di satu ruangan akan membuat banyak waktu terbuang untuk membahas hal sepele yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
"Meskipun gampang terdistraksi, kami tetap bisa bekerja dengan baik kok," aku membela diri.
"Hei, jangan defensif gitu dong. Aku nggak mengindentikkan gampang terdistraksi dengan kemampuan kerja. Ada banyak perempuan hebat yang sukses menjadi pemimpin perusahaan, bahkan pemimpin negara. Gampang terdistraksi nggak berbanding lurus dengan kecerdasan." Abi menyatukan telapak tangan dan menggeseknya dengan penuh semangat. Binar matanya mencerminkan kegembiraan yang membuncah. "Oh ya, sebelum semakin ngelantur dan lupa, aku mau ngasih kabar bagus nih. Sabtu nanti Ibu bikin acara makan siang di rumahku. Sekalian syukuran karena rumahnya mau aku tempatin. Semoga kali ini nggak ada halangan kayak dua minggu lalu, jadi kamu bisa ketemu sama keluargaku."
Aku bisa merasakan senyumku perlahan memudar. Meskipun pertemuan itu membuatku antusias karena itu berarti hubunganku dengan Abi semakin meningkat keseriusannya, rasa was-was juga ikut menyergap. Bagaimana kalau keluarga Abi tidak menyukaiku?
Setelah beberapa bulan bersama Abi, aku semakin menyadari jika meskipun dia tidak banyak bicara soal keluarganya, aku yakin dia berasal dari keluarga yang sangat berada. Gaya hidupnya jelas tidak hanya ditunjang oleh penghasilannya sebagai orang kepercayaan Bu Joyo, bagaimanapun royalnya si Bu Bos.
Kalau aku selalu menyombongkan John Wick sebagai kuda tunggangan kesayangan, Abi mengendarai kuda produksi Jerman. Jelas bukan kuda sejuta umat. Aku tidak pernah membahasnya karena membicarakan kendaraannya seperti membuat perbandingan dengan John Wick, dan aku tidak ingin membuat John Wick merasa uzur karena harus disandingkan dengan mobil yang baru keluar pabrik tahun lalu. Itu topik sensitif untuk John Wick.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilih Siapa?
Narrativa generalePilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya, tapi nggak salah dong kalau Ambar mengamati, menimbang, dan membaca perasaannya sendiri lebih awal, jadi dia tidak akan salah seandainya d...