Dua Puluh Satu

16.7K 5.5K 437
                                    


Tenggorokanku terasa tercekat saat menatap John Wick. Akhirnya... akhirnya belahan jiwaku itu dilahirkan kembali dengan kondisi segar bugar setelah ngos-ngosan sekian lama. Suara mesin John Wick yang sekarang sedang diuji coba Pandu terdengar sangat merdu. Benar-benar sangat layak dengan tabunganku yang sekarang setipis tubuh model VS sebelum mereka berganti imej dengan keragaman postur perempuaan normal pada umumnya.

"Gantian!" Aku membuka pintu dan menyuruh Pandu beranjak dari balik kemudi John Wick.

Pandu berdecak sambil menggeleng-geleng, tapi segera melompat keluar. "Terima kasih kembali, Mbar."

Aku meringis saat menyadari kalau aku memang belum mengucapkan kata-kata apa pun yang menyatakan penghargaan untuk kerja keras Pandu dan seorang asistennya yang telah membedah John Wick pagi ini. Alih-alih membantu seperti yang aku niatkan, aku lebih banyak berteriak memberi perintah. Untung saja aku bukan pelanggan yang bisa balik dijutekin Pandu karena merasa terganggu diomeli. Aku bertingkah seperti orang yang lebih mengerti mesin daripada dia yang mempelajarinya secara formal selama bertahun-tahun.

Bekas oli yang ditinggalkan oleh Pandu di kemudi ikut menempel di tanganku. Tetapi aku terlalu bahagia untuk peduli hal sekecil itu. Tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan John Wick. Konyol sekali mengeluhkan hal seremeh itu.

"Cuci tangan deh, aku traktir kopi." Aku menunjuk kursi penumpang di sebelahku. "Kamu orang pertama yang mendapat kehormatan menikmati jantung baru John Wick."

"Aku orang yang memasang jantungnya," ralat Pandu. "Dan kamu hanya menghargai jasaku dengan secangkir kopi?" Dia pura-pura tersinggung. "Kok aku merasa murahan ya?"

"Nggak usah sok ngambek begitu," sambutku cemberut. "Kayak kamu mau ngambil saja kalau aku pengin bayar jasa kamu secara profesional."

Pandu tergelak. "Sekalian makan siang ya. Aku tadi belum sempat sarapan. Aku beneran takjub kamu bisa meninggalkan ranjang sepagi tadi di hari Sabtu."

Aku memang datang terlalu pagi. Tadi aku sengaja menjemput Pandu ke rumahnya karena tahu aku terlalu awal dari waktu yang kami sepakati. Pandu bukan penganut aliran jam karet, tetapi juga bukan orang yang akan datang terlalu cepat pada janji temu.

"Apa pun demi John Wick." Sudah aku bilang kalau cinta itu perlu pengorbanan, kan? Dan cintaku pada John Wick tidak separuh hati. Aku tulus, setulus-tulusnya. "Cepetan, aku juga sudah lapar. Bukan hanya kamu yang nggak sempat sarapan."

Kami menuju ke restoran yang tidak jauh dari bengkel setelah Pandu membersihkan tangan dan mengganti baju kerjanya dengan kaus yang tadi dipakainya saat ke bengkel.

"Kalau bisa bicara, John Wick pasti akan bilang kalau dia senang karena akhirnya dapat jantung baru." Aku menepuk kemudi dengan bangga.

"Terima saja kalau sesayang apa pun kamu pada mobil ini, dia tetap saja benda mati yang tidak tahu terima kasih. Dia tidak akan menghargai usahamu mengosongkan tabungan untuk membuat jantungnya berdenyut lagi."

"Kamu bilang apa?" Aku pura-pura tuli. "Kok tidak kedengaran?"

"Dasar!" Pandu menyikut lenganku. "Tapi sebaiknya kamu nggak buang-buang uang lagi hanya untuk mempercantik mobil kamu. Aksesori orisinal itu nggak murah. Menabung saja lagi biar rekening kamu nggak menjerit kelaparan. Mobil itu yang penting mesinnya nggak bermasalah saja. Tidak perlu mempereteli onderdil lain hanya supaya lebih enak dilihat saja."

"Tetap nggak kedengaran," sambutku keras kepala. Aku tidak akan mendengarkan kata-kata apa pun dan siapa pun yang menyuruhku mengabaikan John Wick. Hanya yang terbaik untuk pujaan hatiku.

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang