Setelah berpikir matang-matang, aku akhirnya memindahkan isi tabunganku ke rekening Pandu. Aku memintanya memesan jantung baru untuk John Wick. Pandu lebih kompeten mengurus hal-hal seperti itu daripada aku. Aku beruntung punya sahabat, atau kakak jadi-jadian seperti dia. Pandu tidak pernah menolak apa pun yang aku minta darinya. Semua hal yang tidak bisa aku selesaikan bisa dia bereskan dengan baik. Aku sudah mengandalkannya sejak SMA untuk mengerjakan tugas matematika dan fisikaku. Pandu jago mengerjakan soal logika dan hitung-hitungan.
Jadi, ya, setelah memberikan nyaris semua isi rekeningku kepada Pandu, secara resmi aku bangkrut. Tapi tak mengapa, cinta tak kenal pamrih dan hitung-hitungan. Aku bisa mulai menabung lagi. Aku toh tidak punya wishlist mahal lagi yang harus dibeli. Aku tidak terobesi mengikuti tren fesyen sehingga tidak perlu memperbarui isi lemari secara berkala. Tas dan sepatu yang kupakai dibeli atas pertimbangan kenyamanan, bukan merek.
Aku tidak akan kere dalam waktu lama karena progres usaha kami sangat menjanjikan. Bengkel yang dikelola Pandu juga memberikan penghasilan yang sangat bagus. Jujur saja, uang yang kudapat dari bengkel setiap bulan masih lebih banyak daripada bisnis utamaku. Pandu sangat transparan dengan laporan keuangan bengkel. Aku yakin kejujurannya itu menjadi salah satu dari banyak hal yang membuatnya mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang Papa.
"Uangnya sebenarnya nggak perlu kamu transfer ke aku," Pandu langsung menghubungiku begitu mendapatkan notifikasi dari dana yang masuk ke rekeningnya. "Kita bisa transaksi pakai akun kamu."
"Sudah telanjur. Aku lebih suka kamu yang ribet," kataku jujur. "Aku terima bersih aja. Urusan jual beli mesin dan onderdil mobil kan kerjaan kamu sehari-hari. Kalau pakai akunku, aku yang malah harus berurusan dengan penjualnya di Amerika sana."
"Ya sudah, kalau begitu, nanti aku kirimin spesifikasi pilihannya ya."
"Kamu saja yang nentuin," tolakku. "Kamu yang jago mesin, bukan aku. Pesanku hanya satu, John Wick harus dapat jantung yang terbaik."
"Tapi harus tetap kita diskusikan dong, Mbar. Ya sudah, aku ke kantormu deh, jadi kita bisa bahas pilihannya sebelum aku pesan barangnya. Kamu mau dibawain makanan atau camilan apa?"
Mendengar kata makanan, kelenjar air liurku langsung berproduksi ekstra. "Rawon deh," kataku bersemangat. "Minta sambal yang banyak ya! Rawon tuh makin setan makin enak."
"Iya, besok pagi kamu juga bakal kesetanan sendiri di kamar mandiri," gerutu Pandu. "Heran, suka banget cari masalah untuk diri sendiri." Sambungan telepon diputus begitu saja.
Aku menatap layar ponselku sebal. Dasar perusak kesenangan orang!
"Bibir kenapa dower gitu?" Salwa yang mendadak muncul di depan pintu ruanganku yang terbuka menunjuk wajahku yang cemberut.
"Nggak apa-apa." Aku malas mendengar ocehannya kalau aku mengatakan sebal pada Pandu. Bisa-bisa aku dibilang baperan dan lagi-lagi dicap belum move on. "Isi iklan yang lewat di TL aku nyebelin semua," kataku bohong. Aku melepas ponsel untuk mengalihkan perhatian Salwa.
"Aplikasi medsos kan dapat duit banyak dari iklan. Mereka nggak akan peduli kamu suka atau tidak. Makanya kurang-kurangin tuh nge-medsos. Oh ya, mau makan di luar atau pesan di aplikasi aja?"
"Aku sudah pesan rawon sama Pandu."
"Untuk kita bertiga?" Salwa langsung bersemangat. "Mantan gebetan aku memang T.O.P banget."
Aku berdecak. "Untuk aku sudah pasti. Kamu dan Widi nggak tahu deh dibeliin atau tidak."
"Nggak usah manyun gitu, Mbar. Aku bukan saingan lagi. Aku sudah move on sejak doeloe, pas kenal Delon." Salwa melambaikan jarinya yang mengenakan cincin. "Tapi kalau mau dengar pendapatku, kamu lebih baik memilih yang udah ketahuan PDKT deh daripada yang sama-sama buta hati dan buta kode kayak kamu."
Aku memutar bola mata. "Kamu nggak bosan mengulang-ulang itu terus?"
"Enggaklah. Topik ini akan ditutup kalau kamu sudah taken." Salwa menarik kursi dan duduk di depanku. "Oh ya, Pandu ke sini dalam rangka apa?"
Senyumku mengembang lebar. "Kami akan memesan jantung baru untuk John Wick. Nggak lama lagi, dia akan ganteng luar-dalam."
"Astaga, kamu beneran mau buang uang banyak untuk rongsokan itu?" Nada Salwa langsung sengit, seolah aku memakai uangnya untuk memperganteng John Wick.
"Memangnya kenapa?" aku langsung defensif. Lebih baik menghinaku daripada mengatai John Wick. "Aku memang kerja keras banting tulang untuk John Wick."
"Jangan salah, yang kerja keras banting tulang supaya rekening kamu bisa gendut itu Pandu. Usaha kita belum semaju bengkel kalian."
Aku mencibir. "Daripada ngomel tentang bagaimana sebaiknya aku membelanjakan uangku, lebih baik ke ruangan Widi deh. Tanya dia mau makan apa biar kalian pesan di aplikasi. Belum tentu Pandu membawa makanan untuk kalian."
"Aku nggak ngomel tentang cara kamu menghabiskan uang, Mbar. Aku hanya mengingatkan kalau obsesi dengan benda mati itu sama nggak sehatnya dengan makan jeroan tiap hari. Sama-sama bisa bikin mati muda!"
"Jangan nyumpahin!" omelku.
Salwa hanya tertawa melihat pelototanku. "Kamu sih yang mulai. Aku lagi sensi sama orang yang menghamburkan uang untuk hal konyol nggak jelas kayak kamu. Padahal aku dan Delon mati-matian ngumpulin uang untuk persiapan nikah dan DP rumah. Tinggal di rumah orangtua setelah menikah itu kan nggak banget."
Aku paham maksud Salwa. Dia memang ingin mewujudkan pernikahan impiannya tanpa bantuan orangtua. Jadi dia giat menabung untuk itu.
"Tapi John Wick bukan hal konyol nggak jelas," aku menurunkan nada suara. "Dia adalah peninggalan paling berharga dari Papa. Kadang-kadang aku memang jengkel saat John Wick ngambek di saat-saat penting, tapi waktu itu kejadian, aku langsung teringat kenangan saat aku dan Papa menghabiskan banyak waktu di bawah kap John Wick. Itu kenangan manis yang nggak bisa ditukar dengan apa pun. Mengabaikan dia sama saja dengan mengubur kenangan dengan Papa."
Salwa bangkit dari duduknya. "Jangan bikin aku jadi simpati dengan rongsokan itu. Bisa-bisa dia makin bertingkah karena tahu diistimewakan. Aku lanjut kerja dulu. Kalau Pandu beneran nggak bawa makanan untuk aku dan Widi, baru deh kami pesan makanan. Kalau pesan sekarang takut mubazir."
"Ala, bilang saja ngarep!"
Salwa hanya meringis dan meninggalkan ruanganku.
Sambil menunggu Pandu, aku memeriksa laporan keuangan bulan ini. Peningkatan omzet kami lumayan signifikan. Terima kasih kepada Abimana yang membayar DP lebih dari setengah harga barang yang dipesannya. Semoga ke depannya kami akan mendapatkan lebih banyak lagi pelanggan seperti dia. Harapan yang muluk memang, tapi namanya juga harapan, sah-sah saja digantung setinggi tiang sutet.
Pandu muncul persis ketika aku menutup laporan di laptop. Dia meletakkan plastik berisi makanan yang dibawanya di atas meja. Melihat ukuran kantong itu, Pandu jelas membeli lebih dari satu porsi. Salwa pasti tertawa lebar saat aku memberikan makanan ini.
"Rawon semua?" tanyaku.
"Kamu kan pesannya rawon, jadi aku beli rawon semua," Pandu menjawab santai. "Mana aku tahu teman-teman kamu mau makan apa. Mereka ikut pesanan kamu saja. Biasanya juga begitu, kan?"
"Kalau aku pesan makanan, itu berarti aku yang pengin. Kamu nggak harus selalu beli 3 porsi."
"Kok mendadak pelit sih? Biasanya kamu kan ngingetin untuk beli 3 porsi setiap kali pesan makanan ke aku."
"Aku baru sadar kalau kebiasaan itu ternyata lumayan memorotin kamu. Total jumlah uang yang kamu keluarin untuk beli makanan buat kita sebulan itu pasti lumayan juga." Aku memang baru memikirkan hal itu sekarang. Biasanya aku tidak peduli berapa uang yang dikeluarkan Pandu untuk membeli makanan bagi kami.
Pandu tertawa. "Begitu tabungan kamu menipis, kamu auto perhitungan ya? Uang jajan sampai ditotal-total segala."
Aku menatapnya sebal.
"Aku kan belum punya tanggungan yang boleh protes kalau aku jajanin kamu, Mbar. Jadi tenang aja, aku bisa pesanin makan siang tiap hari sampai kondisi rekening kamu nggak sekarat lagi."
"Hei, aku nggak semiskin itu juga kali!" protesku. Aku mengangkat kantong yang dibawa Pandu. "Mau dipanasin di microwave dulu. Mau ikut ke pantri atau mau menunggu di sini sampai aku selesai makan?"
Pandu mengangkat laptopku. "Kita bahas mesin John Wick di pantri sambil makan deh."

KAMU SEDANG MEMBACA
Pilih Siapa?
General FictionPilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya, tapi nggak salah dong kalau Ambar mengamati, menimbang, dan membaca perasaannya sendiri lebih awal, jadi dia tidak akan salah seandainya d...