Aku menemukan Pandu sedang duduk di tangga saat masuk di ruang tengah. Ini pertemuan kami yang pertama setelah percakapan di restoran Jepang tempo hari. Keberhasilan menghindari Pandu tentu saja bukan semata-mata karena usahaku, tetapi juga andilnya memberiku ruang dan waktu untuk aku merenung sendiri. Sepertinya dia berniat untuk mengakhiri perang dingin yang aku kobarkan, karena dia tidak akan duduk di situ kalau tidak bermaksud menungguku.
"Kita bisa bicara kan, Mbar?" Tatapan Pandu tampak serius. Tidak ada gestur menggoda yang berbau candaan seperti kebiasaannya.
Aku menghela napas panjang. Kami sudah sama-sama dewasa. Tidak mungkin membiarkan masalah di antara kami terus berlarut-larut. Memutuskan hubungan secara permanen dengan Pandu setelah menolak pernyataan cintanya rasanya terlalu berlebihan. Hubungan kami tidak hanya melibatkan kami berdua, tetapi juga orang tua kami. Mama sudah menganggap Pandu sebagai anak sendiri, dan aku tidak ingin menjadi penyebab renggangnya hubungan mereka. Mama dan ibu Pandu juga sangat dekat. Cara paling bijak adalah menyelesaikan masalah kami berdua saja sebelum diketahui orang tua. Aku yakin Pandu juga sudah berpikir dan sadar bahwa perasaan tidak mungkin bisa dipaksakan.
Aku ikut duduk di tangga, di sebelah Pandu. "Mama ada di kamarnya?" Aku tidak ingin percakapan kami punya pendengar lain. Kalau sampai itu terjadi, bukannya selesai, masalah akan semakin melebar.
"Tadi Ibu dijemput sama tetangga. Katanya mau sama-sama menjenguk Pak RT yang lagi sakit. Aku nggak mungkin ngajak kamu bicara di sini kalau ada Ibu."
Kedengarannya memang khas Pandu yang bertanggung jawab. Aku memainkan tali panjang tas yang kuletakkan di tangga bagian bawah, tempat kakiku bertumpu.
"Ini tentang percakapan kita tempo hari, kan?" tanyaku berbasa-basi. Meskipun mencoba bersikap biasa, suasananya tetap saja canggung.
"Seharusnya waktu itu aku nggak usah mengatakan apa-apa karena sebenarnya sudah bisa menduga reaksimu akan seperti apa," jawaban Pandu langsung ke inti masalah. "Tapi karena sudah telanjur, jadi kita harus membicarakannya lagi karena kita nggak bisa terus seperti ini. Lama-lama Ibu akan curiga kalau kita terus-terusan saling menghindar." Pandu menghela napas panjang. "Aku juga nggak bisa keluar begitu saja dari hidup kamu dan Ibu karena sudah berjanji pada Bapak untuk selalu berada di sisi kalian. Kalaupun kamu sudah nggak butuh aku, Ibu mungkin masih perlu bantuanku. Aku bukan orang pintar mencari pembenaran untuk mengingkari janji, Mbar. Jadi aku nggak punya pilihan selain harus menyelesaikan masalah ini dengan kamu."
"Iya, seharusnya kamu memang tidak mengakui perasaanmu!" Aku tahu ini bukan saatnya lagi untuk menyalahkan Pandu karena kami sedang berusaha mengatasi masalah komunikasi kami. Kalimat itu terlepas di luar kendaliku. Kurasa aku memang tidak sedewasa Pandu.
"Iya, aku memang egois." Pandu menerima omelanku mentah-mentah. "Aku bukan malaikat yang selalu benar, Mbar. Aku nggak bermaksud membela diri karena tahu keputusanku untuk mengakui perasaanku padamu itu keliru. Kurasa itu karena aku takut kehilangan kamu saat menyadari jika hubunganmu dengan Abimana ternyata jauh lebih serius daripada yang aku sangka." Pandu tersenyum saat pandangan kami bertemu. Bukan senyum lepas seperti biasa, tetapi setidaknya dia berusaha mencairkan suasana. "Tapi setelah kupikir-pikir lagi dengan kepala yang lebih dingin, aku tidak akan pernah kehilangan kamu. Sampai kapan pun, kamu tetap akan menjadi sahabatku. Adikku. Perasaan cinta antara perempuan dan laki-laki bisa, atau malah gampang banget hilang dalam perjalanan waktu, tapi ikatan persaudaraan itu kekal."
Entah mengapa mataku terasa menghangat mendengar kata-kata Pandu. Aku juga sudah terbiasa dengannya, sehingga meskipun jengkel setengah mati karena pernyataan cintanya yang semberono, aku tidak bisa membayangkan dia mendadak menghilang dari hidupku. Aku membutuhkannya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tidak bisa kubereskan sendiri, seperti Mama yang juga tergantung padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilih Siapa?
General FictionPilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya, tapi nggak salah dong kalau Ambar mengamati, menimbang, dan membaca perasaannya sendiri lebih awal, jadi dia tidak akan salah seandainya d...