Pandu sedang duduk santai di di depan meja makan saat aku turun. Di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepul. Dia meneleng dan mengernyit menatapku dari atas ke bawah.
"Ada acara nanti siang?" Pandu menunjuk sepatu berhak rendah yang aku tenteng.
"Nanti malam," jawabku sambil tersenyum.
Aku memang jarang memakai sepatu berhak kalau ke kantor. Biasanya hanya sepatu teplek atau sneakers. Aku pencinta kenyamanan. Aku baru akan sedikit menyiksa tumit dan betis saat ada acara khusus, yang membuat teplekku terlihat tidak menghargai si empunya acara. Atau pertemuan dengan klien penting yang membutuhkan penampilan seperti pengusaha profesional yang sedang menyongsong kesuksesan.
Untuk acara seperti itu, sepatu berhak wajib masuk dalam paket penampilan. Aku sengaja menyimpan 2 pasang high heels di kantor untuk pertemuan mendadak sehingga aku tidak perlu pulang ke rumah. Hanya saja, sepatu yang ada di kantor terlalu resmi untuk sekadar makan malam nonkencan bersama Abimana. Aku tidak ingin dia merasa aku menyiapkan diri secara maksimal untuk makan malam ini. Gengsi dong. Namanya juga perempuan. Kami selalu berusaha supaya tidak terlihat berusaha. Kalian pasti mengerti apa maksudku, kan?
"Acaranya nanti malam, tapi siapnya dari pagi buta?" Pandu bertepuk tangan. "Wow!"
"Biar nggak perlu pulang ke rumah lagi. Repot kalau harus bolak-balik hanya untuk urusan sepatu. " Aku menarik kursi dan duduk di sebelah Pandu. "Kamu kok pagi-pagi sudah ke sini?"
"Mau ke Malang."
"Kamu yang nemenin Mama?" Beberapa hari lalu Mama memang sempat mengatakan soal undangan pernikahan anak laki-laki teman kantornya. Acaranya dihelat di Malang, tempat mempelai perempuan tinggal. Aku pikir Mama akan minta tolong Pak Ahmad, keluarga jauh kami untuk menyopiri, karena biasanya memang seperti itu. Pak Ahmad akan libur menarik angkot setiap kali Mama butuh sopir untuk bepergian keluar kota. "Biasanya kan sama Pak Ahmad."
"Kata Ibu, Pak Ahmad sedang ke Bangkalan. Aku juga nggak ada kerjaan mendesak kok. Bisalah jadi sopir Ibu hari ini."
Mama terlalu tergantung pada Pandu. Dia benar-benar sudah menganggap Pandu sebagai anak sendiri yang bisa diberdayakan seenaknya setiap saat.
"Acaranya siang, kan? Kok sudah siap pagi-pagi gini?"
"Kata Ibu, dia mau mampir ke beberapa tempat pembibitan bunga." Pandu tertawa saat melihatku memutar bola mata. "Memang masih ada space untuk bunga baru, kan? Halaman samping dan belakang masih bisa menampung banyak pot. Apalagi kalau di atur vertikal. Saat Ibu pensiun, dia sudah punya pekerjaan baru untuk menghabiskan waktu."
"Mama tidak akan pernah membuka bisnis bunga karena dia pasti nggak akan tega menjual bunga yang sudah dia tanam dan rawat sepenuh hati. Cinta Mama pada bunga-bunganya sama dengan cintaku ke John Wick."
Gelak Pandu makin menjadi. "Sepertinya kamu mewarisi kecenderungan terlibat cinta platonik dari Ibu."
"Cinta platonik itu hiburan menyenangkan setelah capek bekerja. Mama sudah tidak punya Papa untuk diurus, jadi bunga adalah pengalihan yang bagus."
Pandu mengedikkan bahu menggodaku. "Aku mengerti untuk kasus Ibu. Dia memang butuh pengalihan karena anaknya terlalu sibuk dengan bisnis. Aku hanya merasa kamu terlalu berlebihan soal mobil kamu. Kamu beneran harus segera menemukan hal lain untuk diperhatikan. Sesuatu yang maintenance-nya nggak bikin dompet kamu bocor."
Aku menumpukan siku di atas meja dan menggunakan telapak tangan untuk menopang wajah. "Maksud kamu pasti seseorang, bukan sesuatu." Aku memiringkan tubuh supaya bisa melihat ekspresi Pandu dengan saksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilih Siapa?
Tiểu Thuyết ChungPilih Siapa ya? Memang belum pasti sih kalau kedua sasaran tembak Ambar mempunyai perasaan tertarik padanya, tapi nggak salah dong kalau Ambar mengamati, menimbang, dan membaca perasaannya sendiri lebih awal, jadi dia tidak akan salah seandainya d...