Dua Puluh Delapan

15.5K 4.8K 559
                                        

Untuk pertama kalinya aku sulit menelan makanan yang biasanya membuatku kalap. Antisipasi terhadap topik yang akan dibicarakan Pandu telah menghilangkan selera makanku.

Aku penasaran setengah mati dengan apa yang akan kami bahas, tetapi juga tidak ingin membicarakannya kalau apa yang aku duga benar. Aku tahu Mama bermaksud baik, tetapi menyodorkan Pandu padaku sedikit menyinggung harga diri. Itu seperti menggunakan kekuasaan seorang ratu kepada hamba sahaya yang sudah dipastikan tunduk kepadanya.

Secara fisik, Pandu adalah laki-laki yang nyaris sempurna. Posturnya ideal. Tinggi, tegap, dan tampak kuat. Tetapi ketika berhubungan dengan Mama, kekuatan fisiknya sama sekali tidak mencerminkan kepribadian yang teguh. Di tangan Mama, Pandu mirip plastisin yang bisa dibentuk sesuka hati. Aku tidak pernah mendengar Pandu mendebat Mama kalau konteksnya bukan guyonan. Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda kalau Mama butuh bantuan Pandu. Dan aku yakin, saat Mama membicarakan kemungkinan untuk menyatukan kami, Pandu pasti akan mempertimbangkannya dengan sepenuh hati.

Keadaannya tentu saja berbeda kalau aku belum punya Abimana, atau ketika aku masih punya perasaan kepada Pandu. Walaupun lebih suka Pandu yang mendekatiku lebih dulu, tapi aku tidak akan seberang ini dengan campur tangan Mama. Saat jatuh cinta, kita pasti akan menyambar kesempatan untuk bersama seseorang yang kita sukai, tidak peduli seberapa kecil peluang itu. Dan intervensi Mama untuk mendekatkan kami akan terasa seperti anugerah. Tetapi sekarang keadaannya berbeda, dan upaya Mama terkesan sebagai pelanggaran privasi.

"Kamu nggak lapar?" pertanyaan Pandu membuatku mengangkat kepala dari mangkukku yang masih berisi. "Kuahnya pasti sudah nggak terlalu panas. Ganti aja."

Tadi Pandu memesan shabu-shabu saat aku menyerahkan pilihan padanya. Pilihan yang sebenarnya membuatku lega karena itu berarti kami akan memasak makanan sendiri sehingga perhatian kami akan teralihkan ke proses itu. Sekalian bisa mengulur waktu sambil mempersiapkan mental kalau percakapan kami memang seperti yang aku duga.

"Masih hangat kok." Aku buru-buru menyuap udon yang tadi sudah kusiram dengan kuah shabu-shabu. "Tadi Widi bawa kue, jadi memang belum terlalu lapar." Widi memang membawa kue, tapi bukan itu yang menghilangkan nafsu makanku.

"Makan protein, jangan karbo saja." Pandu meletakkan irisan daging yang dia angkat dari panci rebusan ke dalam mangkukku. "Supaya kamu nggak ngomel-ngomel kalau mendadak tumbuh ke samping."

Tidak ada yang istimewa dengan gestur itu. Saat makan, aku sudah terbiasa merampok isi piring Pandu, atau sebaliknya, Pandu kebagian lauk yang tidak aku sukai. Sekarang terasa canggung karena aku mengaitkan gestur itu dengan dugaan tentang percakapan kami.

Ketika peralatan makan di depan kami sudah diangkat dan digantikan dengan es krim, tingkat antisipasiku semakin membuncah. Percakapan inti yang diitunda Pandu sampai kami selesai makan akan segera digelar.

Selain menyembunyikan semua hal yang berhubungan dengan perasaanku dulu, aku selalu jujur tentang apa pun kepada Pandu. Mungkin itu juga yang membuat kami sangat dekat. Pandu mendapatkan jawaban apa adanya untuk semua pertanyaan yang diajukan padaku. Aku tidak memberi jawaban dengan maksud untuk membuatnya senang.

Hal yang sama juga Pandu lakukan untukku. Meskipun kadang-kadang sudut pandang laki-lakinya terasa menyebalkan, tetapi itu juga bisa membuatku melihat segala sesuatu dari perspektif yang berbeda, dan pada akhirnya membuka wawasan. Membuatku lebih terbuka terhadap berbagai sudut pandang. Aku telah tumbuh bersama Pandu sejak masa remaja, sehingga dia termasuk salah seorang yang paling berpengaruh terhadap pembentukkan karakterku yang seperti sekarang.

"Mikirin apa?" Pandu menepuk punggung tanganku, membuat lamunanku terhenti. "Es krim kamu mulai mencair tuh!"

Seperti orang bodoh, aku spontan menyuap es krimku yang memang sudah tidak sepadat saat diantarkan tadi. Aku bukan penggemar es krim yang mulai melelah, jadi aku lalu mendorong mangkukku ke depan Pandu yang sudah menghabiskan bagiannya. "Untuk kamu saja."

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang