Bagian Dua

17K 2.2K 144
                                    

Ardan menatap Ana dengan sayang. Yang ditatap lebih asyik menjilati wadah kecil sampai tandas. Bulu tebalnya sedikit mengempis terkena gerimis.

Kipas angin duduk yang ada di meja tidak mampu mengeringkan keringat yang telanjur membanjiri kaus hasil dari lari sana-sini, mengerjakan ini-itu. Ardan berniat membeli AC, tapi Mama bilang jangan dulu.

Setengah harian ini dia baru bisa menarik napas. Setelah panas yang cukup terik, mendadak mendung dan langsung hujan deras. Kebetulan Mbak Cici mencuci banyak, jemuran di atap sampai penuh. Ardan sudah punya firasat buruk sejak awal.

Ini bukan jenis kesialan. Ardan tidak mengutuk hidupnya yang berubah drastis dalam setahun. Tidak juga menyesali keputusan resign untuk kemudian pulang.

Hari biasa tidak seperti ini sebenarnya. Dia hanya cukup memantau kos di depan rumah, memastikan para penghuni yang berisi kaum hawa tidak membuat huru-hara. Kadang juga menjaga toko di samping rumah. Tapi tugasnya akan berlipat ketika Mama mendapat pesanan katering.

Saat itu dunia Ardan benar-benar jungkir balik. Seperti sekarang.

Pintu penghubung antara rumah dan toko tiba-tiba terbuka, Mama muncul sedikit terengah. "Ardan, ini yang jemput katering mendadak nggak bisa. Antar Mama ya."

"Yang jaga toko siapa?"

Mengumpulkan tenaga, Mama menoleh ke sisi kanan, mendongak ke arah tangga lalu berseru. "Jingga!!!"

Tidak ada sahutan dan Mama berteriak lagi. "Mama bakar laptop kamu kalau dalam hitungan tiga—"

Derap langkah terburu sudah terdengar di tangga. Disusul dengan protes. "Mama ih, dramanya lagi seruuuuu."

Tidak terima keluhan. "Jaga toko. Abangmu mau nganter Mama."

"Adek aja deh yang jelas-jelas nganggur."

"Kamu mau besok nggak bisa lihat drama kesayanganmu itu? Mau wifinya Mama lepas? Mau uang jajanmu Mama potong?"

"Aku bisa minta sama Abang." Menoleh ke kakaknya. "Ya kan, Bang?"

"Nggak deh. Nggak ikutan aku." Sambil melewati Jingga dan Mama. "Ganti kaus bentar, Ma."

Tidak mendapat dukungan kakaknya dan berakhir kena pelototan Mama, Jingga akhirnya patuh. Menggantikan abangnya di meja kasir. Ana alias Anabul alias Anaconda masih ada di kolong meja, sudah selesai makan, sekarang sedang menjilati kaki. Sesekali melirik tidak peduli ke Jingga.

"ARDANNNNN—Eh, Dek Jingga Manis rupanya yang lagi nunggu toko."

"Mau ngutang ya?!"

Memakai payung kembali dan berbalik cepat. "Iya. Nanti aja deh kalau abangmu ada."

"Aku aduin Mama nih!"

Orang itu kemudian ngacir pergi. Kebiasaan buruk semenjak abangnya memegang kuasa atas toko ini adalah para tetangga yang ngadi-ngadi mengutang di toko tanpa perasaan. Abangnya tidak bego, cuma kelewat baik kalau menyangkut uang. Seakan bisa mencetak uang sendiri. Tiap ditanya Mama soal catatan utang, abangnya selalu menjawab. "Kayak sama siapa sih, Ma. Mereka kan tetangga, udah kayak keluarga sendiri. Nggak perlu itungan. Nanti juga dibayar. Kalau nggak, ya diikhlasin."

Dan Mama tidak jadi marah-marah. Padahal ya, sebelum bertanya seperti itu, Mama sudah mencak-mencak di hadapan Jingga. Begitu kakaknya memberi alasan seperti di atas, Mama mengangguk saja. Urusan selesai begitu cepat.

Ketika Jingga tanya, Mama menjawab sambil lalu. "Udahlah, urusan toko jangan dibikin ribet. Abangmu duitnya banyak. Kalau modalnya kurang, bakal ditambal sama dia."

Sejak saat itu, Jingga sering minta uang jajan ke kakaknya. Seringnya dikasih, tapi ditanya detail buat apa. Dia tidak menyangka jika di balik kostum gembel—sebenarnya tidak terlalu gembel amat—kakaknya ternyata sultan. Selama hidup di Bandung empat tahun ngapain aja sih abangnya?

"Bang!"

Kakaknya kembali ke meja kasir, sudah ganti kaus yang lebih layak dan tentunya wangi.

Mengambil ponselnya di laci meja kasir. "Apaan?"

"Bedak aku habis. Hehe."

"Di-refill pakai gandum sementara."

"ABANG!!!"

"Abang nggak pegang duit." Mengantongi ponsel dan kembali ke dalam rumah.

"Duitnya ilang kalo bohong!"

Dia sungguhan tidak sedang pegang uang banyak. Bedak yang dimaksud adik perempuannya itu bukan bedak warung, tapi bedak dari skincare ternama. Kemarin padahal sudah minta buat beli tuner serum atau apalah itu. Dia mencoba maklum dengan Jingga yang sedang masa transisi menuju dewasa. Dia hanya takut lama-lama tidak akan mengenali wajah adiknya saking glowingnya.

Di pintu menuju dapur, Ardan tiba-tiba dihadang Didit. Adik lelaki bungsu yang berumur tujuh tahun.

Ardan menunduk. "Apa, Dit?"

Didit sedikit mendongak. Tingginya hanya sebatas perut kakaknya. "Minta lima ribu, Bang."

"Jajan apa?"

"Bakso bakar. Buruan, Bang. Mumpung bapaknya masih di depan rumah."

Ardan merogoh saku celana, menemukan uang dua puluh ribu.

"Kembaliannya dikasih ke Abang lagi?"

"Ditabung aja."

Didit nyengir, memperlihatkan satu gigi bawahnya yang ompong. Lalu berlari ke depan rumah setelah menyambar payung di dekat pintu. Berseru. "Makasih, Abang!!"

***


Jangan berharap banyak sama cerita ini ya. Nulisku di hp. Beneran cuma iseng sumpah. Mikir alurnya juga dadakan hihihihiw

Terus motivasi taruh di sini apa?

Biar ada covernya 😂😂😂

Aku masuk ke golongan bikin cover dulu baru mikir mau bikin cerita kek apa 😭😫🤣

Tapi seneng sih kalau kalian mampir. Makasiiiiiw pokoknya ❤

Jumat/08.01.2021

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang