Bagian Duapuluh

8.6K 1.6K 220
                                    

Tim #ArdanAgni sama #ArdanSasa akur ya. Seneng lihatnya 🤣🤣🤣

Happy reading! 🙌

—————————

Jingga menatap kursi makan yang biasanya diduduki abangnya. Pagi ini kosong. Aneh. Padahal mana pernah abangnya bangun kesiangan. Biasanya juga dirinya atau Didit yang mesti diguyur air segayung baru mau bangun. Mama yang melakukannya. Abangnya mana tega begitu. Ralat, bukan air segayung tapi dalam bentuk percikan air.

"Ci, abangnya adik-adik belum bangun?"

"Belum deh, Bu, kayaknya. Biasanya pagi-pagi suka bikin kopi. Dari tadi belum kelihatan sama sekali."

Sukma menatap Jingga yang langsung paham akan perintah lewat gerakan bolamata. Jingga berdiri dari kursinya, semangat menaiki anak tangga dan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Jangan lupa, secara de facto, ini juga kamarnya. Bebas mau masuk tanpa khawatir abangnya sedang telanjang. Belum pernah kejadian soalnya.

Jingga mendekat ke kasur. Menyingkap selimut yang menutupi kepala abangnya. Awalnya hanya tepukan pelan di bahu, karena tidak ada reaksi, tepukan berubah menjadi cubitan kecil. Masih gagal juga, cubitan dia tambah level pedihnya.

Sebelum menyadari apa terjadi, Jingga refleks mundur dua langkah saat kedua tangan abangnya bergerak heboh di udara. Asli, Jingga takut kena gibeng. Untung refleksnya bagus.

"Woi mau apa lo?! Sini maju! Lo pikir gue takut?!"

Jingga masih menatap horor abangnya sambil mundur selangkah lagi hingga punggungnya menempel ke lemari. Abangnya masih silat dengan mata terpejam. Satu hal terlintas cepat di kepalanya. "Maaa, Abang kesurupan!!"

Mata Ardan seketika membuka mendengar teriakan itu. Lalu menoleh kaget melihat Jingga ada di kamarnya, menempel seperti cicak di lemari.

"Abang mimpi apaan sih? Jadi ninja warrior?!"

Mengusap wajah dengan lelah, Ardan kemudian mengangkat tangan, menggerakkan jari ke arah pintu. Mengusir Jingga dari kamarnya. Jingga yang tidak mau melihat adegan aneh lainnya, bergegas menutup pintu kamar dari luar.

Ketika Ardan turun setengah jam kemudian, meja makan sudah bersih. Mama terdengar berbincang dengan Mbak Cici di halaman belakang, menemani Mbak Cici mencuci baju. Adik-adik pasti sudah berangkat sekolah.

Masih dengan mengucek mata, Ardan berjalan ke warteg Mpok Jaenab. Mendapati Emil duduk di sana, baru akan memulai sarapan. Ardan bergabung setelah memesan segelas kopi hitam. Emil sering sarapan di sini tapi Ardan tidak pernah iseng tanya kenapa Rena jarang masak.

Mpok Jaenab tampak sibuk membungkus beberapa nasi dengan lauk, sepertinya pesanan dari proyek pembagunan sebelah. Sementara suaminya, Pak Dadang, sedang di depan wajan besar, menggoreng mendoan. Tapi kegiatannya terinterupsi membuatkan kopi untuk Ardan.

"Makasih, Pak." Kopi diantarkan. Ardan membuka penutup gorengan, mengambil rolade.

"Semalam anak kos sebelah kena lagi." Pak Dadang membuka obrolan meski sudah kembali ke kompor. Membalik gorengan. Sekilas menoleh ke bangku tempat Emil dan Ardan duduk. "Nanti malam Bapak-bapak mau ronda."

Emil tidak paham. "Soal apa sih, Pak? Ada maling baru?"

"Bukan. Masih yang itu, yang pamer tytyd."

Ardan dan Emil seketika bengong. Yang menjawab bukan Pak Dadang, melainkan istrinya. Pak Dadang sempat menoleh kaget, kikuk, lalu diam dan memilih fokus ke mendoan daripada menanggapi.

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang