Bagian Empatpuluh Enam

7.1K 1.6K 145
                                    

Disclaimer: ngetiknya sambil dengerin lagu di mulmed. Belum bisa bosen, sama kayak to the bone-nya maspam, wkwkwk lagu2 kaum buciners in another level 🤣

Happy reading! 🤗

——————————

"DAN, SOPTEK, DAN!"

Emil memasuki toko setengah berlari lalu nyaris terjungkal saat bukan Ardan yang duduk di kursi kasir. Dia nyengir kikuk, menggaruk rambut. "Eh, ada Tante Sukma. Hehe."

"Libur ya, Mil?" Sukma mengangkat wajah dari majalah resepnya, menyapa ramah. Soal teriakan laknat Emil barusan, Sukma juga sudah maklum. Dia lebih memilih pura-pura tidak dengar saja. Sahabat anaknya ini memang begitu tabiatnya.

"Shift malam, Tan." Emil mencegah saat melihat Sukma hendak berdiri. "Aku ambil sendiri aja."

Sukma kembali duduk. Emil membawa satu bungkus pembalut ke meja kasir. Bertanya seraya mengeluarkan dompet. "Anak Tante yang paling ganteng sedunia itu ke mana?"

"Keluar sama Agni tadi."

"Sejak kapan—" Gerakan tangan Emil yang membuka dompet terhenti. Dia celingukan, memastikan keadaan, lalu kembali menatap Sukma. "Tante tahu mereka paca—deket?"

Sukma tersenyum jemawa. "Kita sama-sama tahu sejak lama. Justru mereka sendiri yang telat sadarnya."

"BENER BANGET TANTE ASTAGA!" Emil meringis karena kelepasan berteriak. "Ternyata kita mesti nunggu satu tahun, Tan! Satu tahun! Tiap mereka berantem, rasanya pengin aku seret aja ke KUA. Nikahin, kelar. Daripada berantem sepele mulu, mending berantemin urusan rumah tangga."

"Tante rasa momennya sudah tepat. Ardan benar-benar bisa membuka hati dan Agni akhirnya kalah."

"Kalah?"

"Anak itu gengsinya juga sama kayak Ardan."

Emil mengangguk-angguk, setuju. "Ardan juga apa-apa mesti dikomporin dulu."

"Bantu jagain mereka ya, Mil. Kamu yang mungkin lebih berpengalaman. Tante nggak mau Ardan sedih-sedih lagi."

"Udah pasti itu mah. Tante kan tahu sesayang apa aku sama Ardan. Nih, kalau aku perempuan nih, saking sayangnya, Ardan udah aku nikahin dari SD." Emil yakin kalau Ardan dengar ini pasti dia ditempeleng.

Sukma menatap sedikit horor. Emil balas dengan cengiran lebar. "Canda, Tanteee. Untung aku laki." Menyerahkan selembar uang. "Ngomong-ngomong, mereka ke mana, Tan?"

Mengangkat bahu, mengambilkan kembalian uang. "Ardan nggak bilang mau ke mana. Tapi katanya nanti mau cerita."

***

"Hati-hati, jalannya mungkin licin."

Kalimat peringatan itu menarik Ardan dari ketersimaan. Dia lantas menunduk, menatap jalan setapak menuju teras rumah yang terbuat dari bata. Lumut mulai menutupi permukaannya. Apakah rumah ini sudah ditinggalkan lama?

Mengangkat kepala, Ardan meneruskan langkah, menyusul Agni yang sudah menunggunya di undakan teras. Setiap langkah yang diambil, ada sesuatu yang berbeda. Dia diam-diam meneliti gestur Agni.

Tadi pagi-pagi sekali, Agni mengirim chat, sebuah ajakan yang langsung disanggupi Ardan—tanpa bertanya ke mana tujuan mereka. Pertanyaan di kepalanya terjawab saat dirinya bisa menyimpulkan sendiri.

Apakah ini karena permintaan Ardan kemarin? Soal dirinya yang ingin dikenalkan dengan keluarga Agni. Semalam, tidak ada jawaban pasti, Ardan pikir dia harus menunggu. Tapi Ardan sungguh tidak tahu jika dalam semalam perempuan itu berubah pikiran.

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang