Bagian Sembilan

9K 1.7K 122
                                    


Ardan berjengit karena dua hal.

Pisang goreng yang dia pegang ternyata masih panas. Dia hempaskan kembali ke piring. Sama sekali tidak sengaja, tidak bermaksud kurangajar ke makanan.

Lalu ditambah dengan kalimat semena-mena dari Mpok Jaenab.

"Dan, kamu pacaran ya sama Agni?"

Emil tersedak kikil—piringnya penuh dengan lauk oseng kikil. Ardan sekalian duduk setelah mengantar gas, kebetulan Emil juga datang, rapi dengan seragam pabrik. Ardan ditahan di sana karena Emil minta ditemani sarapan. Ardan hanya memesan secangkir kopi hitam karena sudah sarapan di rumah.

Sambil menepuk-nepuk dada, Emil sedikit mengejek. "Lah, si Empok nggak tahu."

"Nggak tahu apa?" Mpok Jaenab yang semula mendongak dari balik etalase, kini bergeser ke meja kasir agar bisa melihat Emil lebih jelas. Menatap penuh antisipasi. "Buruan, ahelah, malah makan dulu!"

Emil mengunyah nasi dengan dagu terangkat. Ardan yang jadi bahan pembicaraan masih fokus ke pisang goreng. Sudah tahu Emil akan bicara apa. Dia biarkan.

"Ardan kan punya pacar. Tapi LDR." Lalu ngakak sendiri.

Ardan tidak tahu lucunya di mana. Dia menyerah, berdiri dari kursi, dan mengambil garpu di meja kasir. Kalau pisangnya dingin jadi tidak enak.

Hening. Hingga tawa Emil surut sendiri.

"LDR apaan?"

Emil mingkem. Melanjutkan sarapannya. Malas menjelaskan. Salahnya dia juga, sudah tahu hendak sarapan kilat, malah mencari gara-gara.

"Emil, jawaaaab!"

Di sela kunyahan, dijawab cepat. "Long Distance Relationship, Mpok."

"Lodisasyen—syip?"

Ardan meniup pisang goreng di garpunya.

"Pacarnya di Bandung sana, Mpokk."

"Bener gitu, Dan? Jadi kamu selama ini udah punya pacar? Kok nggak bilang?" Terdengar ikut kecewa, mewakili anak-anak kos yang suka curcol padanya hampir setiap hari kalau ada kesempatan. Tidak gumoh, Mpok Jaenab senang-senang saja mereka cerita soal Ardan. Justru merasa seperti muda kembali melihat kenorakan anak-anak kos ketika mengagumi Ardan.

Ardan membalik setengah badannya, menjawab. "Udah putus, Mpok."

Tatapan tajam Mpok Jaenab terhunus ke Emil. "Mubadzir denger omonganmu kamu, Mil, Mil!"

Emil membela diri. "Ya, Empok sih, ngapain iseng tanya gitu."

"Mpok kan cuma tanya! Ardan aja nggak keberatan."

"Dia sama Agni jauh, Mpok. Agni sih bukan tipenya Ardan. Agni sama mantannya Ardan nggak ada apa-apanya."

"Terus tipenya kayak apa? Kayak kamu?!"

Ardan nyaris menyemburkan kopi yang baru dia sesap ke arah Emil. Nyaris, tapi Emil yang sigap langsung mengangkat piringnya dan bergeser sebelum disembur sungguhan.

"Sori sih, Ardan juga bukan tipe gue."

Emil pura-pura sibuk melanjutkan makan. Ardan justru menoleh, menyeka sudut bibir dan mendapati Agni muncul di depan warteg. Sudah rapi, siap berangkat kerja—entah di hotel atau tempat satunya. Bukan urusan Ardan juga untuk tahu.

"Agni, mau sarapan apa?" Mpok Jaenab tersenyum lebar, mengalihkan situasi. Tangannya gesit mengambil piring bersih.

Warteg kebetulan masih longgar. Geng bapak-bapak biasanya baru akan muncul di atas jam delapan. Kebanyakan anak kos hanya membeli lauk dan dibawa pulang. Kalau Agni, setahu Ardan, kadang makan di tempat. Kalau pagi begini, Agni sarapan sekalian berangkat. Seperti sekarang.

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang