"Bang Galon."Ardan menoleh ke pintu toko. Bukan karena panggilan itu, tapi lebih karena suara yang memanggil sudah istimewa di telinganya. Kepalanya auto noleh tanpa disuruh otak tapi hati yang berkehendak. Agni juga terlihat cantik dengan kaus oversize, celana selutut dan sendal jepit. Rambut sebahunya sebagian disibak ke belakang menggunakan jedai. Tapi bagi Ardan, berasa disamperin bidadari.
Bidadarinya galak tapi.
"Pffftt, nengok lagi. Suka ya gue panggil Bang Galon?"
"Nggak mau. Ulangi."
Agni berdeham. "Bang Gas Elpiji?"
Sebelum tambah manyun bibir Ardan, Agni berhenti menjaili. "Bang Ardan—siapa sih nama panjang lo? Apa cuma 'Ardan' aja?"
"Rahasia. Ntar kalau daftar nikah juga tahu. Ngapain ke sini? Kalau cuma beli doang mending nggak usah. Pulang lagi sana."
"Tujuan orang ke toko kan emang buat beli, bukan apel."
"Oh, mau apel. Bilang dong. Duduk, duduk."
Iseng bertanya. "Duduk di mana?"
"Mau sekursi sama gue, dempetan kayak angkot? Atau mau dipangku?"
"Bu Sukma, anaknya mesum nih!"
"Jewer aja kupingnya!"
Ardan melongok panik, melihat mamanya di pintu pembatas toko dengan rumah. Agni juga tidak menyangka kalau bakal dijawab sungguhan oleh yang bersangkutan. Dia cuma bercanda. Ketika matanya bertemu dengan Tante Sukma, dia tersenyum lebar.
"Nggak, Ma. Ardan nggak ngapa-ngapain. Cuma bercanda."
"Inget ya, ini toko ada CCTV. Kalian kepergok aneh-aneh, Mama nikahin ke KUA nggak pake besok-besok." Setelah itu Mama menghilang ke rumah.
"Gue emang ngebet nikah, tapi mau pakai alasan yang bagus. Bukan kepergok CCTV." Ardan kembali duduk.
"Yang penting nikahnya sama siapa."
Ardan nyengir. "Bener juga." Lalu menepuk pahanya sendiri. "Sini duduk."
"Gue gampar ya." Setelah mengatakan itu, sudut matanya menangkap hal lain.
Di luar toko, Sasa yang hendak berangkat kuliah tetap menyempatkan diri mampir meski jelas-jelas ada pawangnya. Dia tidak buta kok. Dia tahu kalau sedang ditatap laser oleh Agni. Sebelum ada deklarasi apa-apa, Sasa masih berhak berjuang sampai titik darah penghabisan.
Gagal mendapatkan Ardan, anemia iya.
"Abaaaaaang."
"Apa?" Disambar Agni sebelum Ardan menjawab sapaan itu.
Sasa tidak mengalihkan mata dari Ardan yang kini menatapnya. Fokus ke tujuan. Selama beberapa saat dia memang bisa memandangi wajah ganteng itu tanpa hambatan. Seperti yang sudah-sudah, dia sedang men-charge energi untuk kuliah seharian. Tapi detik kesekian ada telapak tangan yang tiba-tiba nemplok di wajah Sasa. Bukan nemplok, lebih tepatnya ini ditabok sih.
Menyingkirkan tangan itu dari wajah, Sasa kemudian merengut seraya mengusap hidung.
Ardan menahan tawanya. "Udah sana, berangkat. Ntar ketinggalan bus."
"Kasih semangat dulu, Bangggg."
"Semang—"
"Semangat!" Agni meraih kedua bahu Sasa, ditepuk kencang dan diputar balik dengan paksa. Pun didorong keluar dari toko. Sasa cuma bisa pasrah sambil ngomel dalam hati. Tidak sudi dia menganggap Agni bestie lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDAN √
Humor[slice of life/comedy-romance] Sejak sang Papa meninggal setahun yang lalu, Ardan mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Bandung dan karirnya yang sudah mapan. Dia pulang dan membantu Mama mengurus rumah kos dan adik-adik. Rencana awal memang...