Bagian Limapuluh Delapan

7K 1.3K 218
                                    

Emil sepulang kerja sengaja mampir ke lapangan. Tapi yang dia dapat bukan Ardan yang jago main voli seperti yang kemarin-kemarin dia lihat. Baru lima menit menonton, bola sudah dua kali menyasar ke wajah tanpa bisa ditangkis. Fungsi dua tangan buat apa?! Apa nggak sayang itu muka ganteng?!

"Dan, fokus!" teriaknya gemas.

Ardan menoleh, mencari sumber suara dan mengacungkan jempol.

"Muka ganteng lo mahakarya Tuhan, jangan lo bonyok-bonyokin!"

Diberi acungan jempol lagi. Meski begitu, Emil kembali menatap awas sahabatnya itu. Ketika Ardan membuat blunder lainnya, dia dengan galak berteriak lagi. "Oplas mahal, Bestie! Jangan bikin gue nyap-nyapan ya! Capek kerja gue belain nonton lu latihan. Jangan ngebadut!"

Ardan terlihat memegang hidungnya, setelah tanggap Emil langsung nyelonong masuk lapangan. Teman satu tim sudah mengelilingi Ardan, menatap bingung karena sepanjang latihan selalu kena sial.

Terdengar pertanyaan-pertanyaan bernada khawatir.

"Bang, lo lagi sakit ya?"

"Kalau sakit, nggak usah dipaksain, Bang."

"Sehat kok gue lihat-lihat. Patah hati ya, Bang?"

"Bang, main bekel aja."

Emil menyibak tubuh mereka, meminta jalan. Sambil tangannya dengan luwes menabok mulut Edo yang barusan menyuruh Ardan main bekel. "Nyuruh main bekel? Lo sama dia duluan siapa keluar di bumi? Kurangajar!"

"Dih, apaan sih, Bang. Bang Ardan aja santai kok."

"Santai palelu. Cuma gue yang boleh hina dia. Minggir lu!"

Emil siap mengomel tapi melihat hidung Ardan mimisan, dia tidak tega. Jadi hanya mengulurkan sapu tangan. "Bersih nih, belum gue pake."

Ardan menerima sapu tangan untuk menyeka darah yang mengalir dari hidungnya.

"Lo bisa main voli nggak sih? Bekelan sama gue di rumah aja deh atau karambol boleh."

Latihan bubar karena sudah hampir magrib. Ardan diberi tepukan semangat di bahu oleh teman-teman satu tim. Emil mendelik, kalau tepukan dirasa terlalu kencang mengenai sobatnya, dia balas menyepak pantat mereka.

"Lo kenapa? Main voli kok nyambi debus."

"Berantem sama Agni."

Emil berhenti. Ardan yang merasa kalau Emil tertinggal di belakang, ikut berhenti. Menoleh.

Dengan senyum penuh makna dan wibawa. "Ini saatnya kita mancing di comberan sama-sama. Jangan ditolak, itu suara hati terdalam lo."

Ardan meremas sapu tangan dan melemparkannya ke Emil yang ditangkap dengan mudah. Lalu melanjutkan langkah. Emil berjalan di belakangnya, tidak lagi menyejajari.

Sampai di rumah, Ardan berbelok ke gerbang kos yang mumpung terbuka. Dia melongokkan setengah badan. Dan hanya menemukan Eriska yang sedang mengeringkan rambut di dekat pintu kamar.

"Ris,"

Gerakan handuknya terhenti. Matanya berbinar di antara helai rambut yang menutup wajah. "Ya, Bang?"

"Agni udah pulang?"

Binarnya langsung redup paksa. "Udah kayak satpam ya aku."

"Lo kan yang kamarnya paling strategis."

"Belum pulang deh kayaknya, Bang."

"Oke, makasih." Ardan mundur dan menggeser gerbang. Begitu berbalik hampir jantungan melihat Sasa tiba-tiba sudah ada di belakangnya.

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang