Agni jarang ke pasar. Tapi bukan berarti dia jerih menatap penuh sesaknya manusia di sini. Dia dengan cepat bisa beradaptasi. Nanti juga dia akan sering ke pasar ketika sudah berkeluarga.
Alasan kedua, dia melihat Ardan yang tampak membaur baik dengan situasi di pasar. Mungkin karena terbiasa mengantar mamanya ke sini.
Ardan menoleh, memastikan Agni masih di belakangnya. Jalan yang penuh membuat mereka bertiga jalan terpisah. Mama yang paling depan. Ketika dilihatnya Agni tampak santai, Ardan berhenti. "Ni, jalannya jangan jauh-jauh."
Lantas menunggu Agni yang menyusul. Menyuruh perempuan itu jalan di depannya.
"Kita ke mana dulu ini?"
Ardan hapal tujuan mamanya. "Nyari daging dulu."
Beberapa kali juga Ardan memberi peringatan kecil ke Agni. Dia familier dengan keramik lantai yang retak tapi tak kelihatan, genangan air yang suka menjadi jebakan batman, hingga pegangan tangga yang rapuh.
"Selain rapuh, kotor juga. Lo mending pegang tangan gue aja." Seraya nyengir jail.
"Lo udah cocok jadi tour guide pasar ini," balas Agni.
"Makasih pujiannya. Jujur gue nggak terharu."
Alih-alih seperti pasangan pengantin muda, mereka terlihat layaknya anak kembar yang mengikuti ibunya pergi ke pasar. Tinggal menunggu waktu mereka rewel minta jajan.
"Loh, Bu Sukma, ini Jingga?" sambut Ibu-ibu penjual daging yang tampak terkejut melihat perempuan di sebelah Ardan.
"Bukan, Bu. Dia—"
Ibu-ibu itu mengibaskan tangan heboh. "Ah, calonnya Ardan! Jingga kan sekolah ya, nggak mungkin ikut."
Ardan nyengir senang, sementara Agni nyengir malu.
"Salah satu anak kosku, Bu. Kebetulan ikut." Sukma tersenyum. Menyebutkan jumlah daging yang ingin dibeli. Ibu penjual sigap memotong daging. Tidak lagi menggoda Ardan karena obrolan sudah berubah ke harga daging yang naik.
"Nggak sekalian beli daging?" Ardan menggerakkan dagu.
Agni mencoba mengingat isi kulkas. Lalu menggeleng. "Kulkas kayaknya masih banyak stok makanan."
Ardan jadi ingat dengan isi kulkas yang sempat dia tilik kemarin. "Ngomong-ngomong soal kulkas kalian. Gue agak ngeri."
"Kenapa? Sejauh ini aman aja."
"Takut ada yang beranak di dalam kulkas."
Agni tertawa. "Lo kira film Suzanna?"
"Kalian kalau nggak sempet masak, nggak usah belanja."
"Pas belanja udah semangat masak nih. Terus sampai kos tuh tiba-tiba males. Ya udah, dimasak malem aja. Eh malem udah capek dan pilih bikin mi. Besok paginya, makin males."
Ardan mengernyit horor.
"Selama itu kulkas nggak meleduk, tenang aja."
"Lo enteng banget ya bilangnya. Kalau itu kulkas rusak, gue juga yang keluar duit. Coba, siapa yang rusakin lampunya?"
"Udah lama lampunya mati. Nggak tahu siapa pelakunya. Gue buka paginya, udah gelap."
"Kebetulan kalian lagi PMS terus lampiasin ke pintu kulkas apa gimana?"
"Iya tuh paling. Nggak sengaja kebanting pintunya terus lampunya kaget."
"Itu lo tahu kronologinya. Lo pasti."
Ardan kena tabok di punggung. "Udah dibilang bukan gue!"
Urusan belanja sebenarnya terbilang cepat. Agni lihat ibu kosnya cukup cekatan dan tidak banyak rumpi meski ibu-ibu penjual mencoba kepo dengan kehadiran Agni. Tapi selalu dijawab dengan bijak dan tidak dilebih-lebihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDAN √
Humor[slice of life/comedy-romance] Sejak sang Papa meninggal setahun yang lalu, Ardan mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Bandung dan karirnya yang sudah mapan. Dia pulang dan membantu Mama mengurus rumah kos dan adik-adik. Rencana awal memang...