Ardan berhenti menghubunginya.Sejak Agni membuka mata, tidak ada pesan menumpuk dari lelaki itu yang biasanya mengawali harinya. Pun dengan panggilan tidak terjawab yang selama empat hari dia abaikan. Kini dia mulai mencarinya. Mulai kehilangan. Mulai merindukan. Tapi untuk menghubungi lebih dulu, sebagian hatinya menolak. Keras kepala.
Semalam ketika lelaki itu datang, harusnya dia peluk erat-erat. Bukan malah memagari diri dengan gengsi segambreng. Buat apa. Hanya makin menyusahkan diri sendiri.
Harinya berjalan lesu. Ada saja human error yang dia lakukan di tempat kerja. Melamun saat melayani tamu yang hendak check in. Salah memberikan kunci akses kamar. Menjatuhkan gelas saat makan siang, tentu saja pecah dan agak membuat gaduh. Beruntung dirinya punya atasan yang baik. Tapi tidak tahu besok. Kalau dirinya berulah lagi, siap-siap SP.
Sisa hari berjalan baik, tapi tidak dengan hatinya.
Sepulang kerja, dia mampir ke kafe seberang hotel. Saat menunggu lampu zebra cross, dia menoleh dan terpaku ke penjual angkringan yang mulai berkemas pulang. Bapak pemiliknya mengingatkannya pada Ardan. Lelaki itu pernah menungguinya wawancara sambil mengobrol di angkringan itu.
Agni kembali menatap ke depan. Hari sudah petang. Dia mulai melangkah bersama pejalan kaki lainnya. Tak bisa mengelak, dia kangen. Kalau biasanya, setelah lelah sepulang kerja, dia akan mendapati sapaan hangat ketika sampai di depan kos, saat ini berbeda.
Dan selama empat hari ini, dia juga kehilangan kalimat-kalimat receh mengandung semangat yang setiap pagi Ardan berikan.
Seseorang melambaikan tangan dari dinding kafe yang transparan. Agni tidak membalas, tapi mempercepat langkah untuk mencapai pintu. Lonceng berbunyi, aroma kopi dan kue langsung menyergap indra penciuman. Tapi dia tidak lapar. Napsu makannya juga buruk seharian ini.
Asta sudah menunggunya di salah satu meja di sudut yang diperuntukkan hanya untuk dua orang. Rupanya dia sudah dipesankan minum.
"Matcha latte hangat kesukaan kamu," sambut Asta dengan senyum lebar.
Agni duduk, tidak bersemangat mendapati minuman favoritnya ada di meja. Juga termasuk fakta kalau lelaki ini ingat tentang detail ini. Sungguh, dia tidak tersentuh sama sekali. Pikirannya justru berandai, dengan perasaannya yang tidak menentu seperti sekarang, akan terasa lebih ringan kalau dia melihat Ardan atau minimal mendengar suaranya.
Tiba-tiba saja dia merasa muak dengan semuanya. Termasuk dengan dirinya sendiri. Semua orang di sekitarnya mendadak punya salah dan wajib dia benci.
Untuk membuat dirinya tenang, dia embuskan napas beberapa kali. Dia juga tepuk-tepuk dada untuk meringankan himpitan berbagai kecamuk pikiran. Semua ini memang salahnya.
"Kamu sakit?"
Agni mengatupkan bibir rapat. Menolak menjawab. Dia mengajak lelaki ini bertemu bukan untuk berkeluh kesah.
"Istirahat yang banyak. Jangan sering begadang kayak dulu. Aku pesankan air putih hangat aja? Makan, kamu pasti belum makan. Sekalian aku pesanin."
Agni menggeleng tegas. Dia tidak ingin duduk lama di sini. "Sesuai yang aku bilang di chat tadi, aku mau bicara serius sama kamu. Bukan duduk makan sama kamu."
Sepertinya Asta menangkap maksudnya. "Masih tersisa satu hari, Ni."
"Aku bisa kasih jawaban sekarang."
"Sebelum kamu beri aku jawaban, kamu harus dengar alasanku berhenti menghubungi kamu selama satu tahun."
Agni diam, membiarkan Asta bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDAN √
Humor[slice of life/comedy-romance] Sejak sang Papa meninggal setahun yang lalu, Ardan mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Bandung dan karirnya yang sudah mapan. Dia pulang dan membantu Mama mengurus rumah kos dan adik-adik. Rencana awal memang...