"Mbak Agni, ayok bareng kita!"Tentu saja itu mulut Jingga. Ardan baru mengecek ponsel sebentar ketika Jingga membuka jendela dan berteriak.
Ardan hanya melirik. Merasa diabaikan, Jingga memilih turun demi membujuk Agni agar mau berangkat dengan mereka. Hanya hitungan detik, Jingga berhasil menyeret Agni mendekat ke mobil. Ardan baru menoleh saat merasa ditatap. Lalu dia hanya memberi anggukan. Tatapan itu Ardan artikan sebagai bentuk pertanyaan: emang gue boleh bareng?
"Tunggu, bentar." Jingga menyergah Agni yang hendak membuka pintu belakang. "Di belakang ada prakarya aku, Mbak mending duduk di depan."
"Aku bisa pangku prakarya kamu."
"Nggak."
"Aku janji bakal hati-hati."
"Pokoknya nggak! Bang Ardan pegang aja aku marahin. Udah, pokoknya Mbak di depan." Lalu mendorong Agni hingga terduduk di kursi depan.
"Udahlah, Ni, nurut aja. Gue pusing denger suara cempreng dia. Lebih cepat dia diam, lebih baik." Ardan tidak sengaja menatap di sudut bibir Agni. Dia ingin bertanya soal salep tapi urung.
Ketika mobil melaju. "Gue turun di halte depan aja."
"Lo kerja di mana pagi ini?"
Agni menyebut salah satu hotel ternama.
"Itu mah deket dari sekolahku, Mbak." Jingga menyahut. "Udah deh, bareng aja. Duduk beberapa menit di mobil yang sama bareng Bang Ardan, nggak bakal bisulan."
Bukan bisulan masalahnya. Agni mengembuskan napas pelan.
Didit yang pertama turun sesuai urutan dekatnya sekolah. Lalu disusul Jingga yang melambai heboh pada Agni. Ardan jadi curiga setelah melihat bagaimana Jingga begitu antusias dengan Agni, apalagi dengan panggilan 'calon kakak ipar' yang membuat Ardan geli mendengarnya.
Maksudnya, Jingga ini tergolong menyebalkan untuk semua orang, sulit juga untuk benar-benar respek ke orang lain. Tapi lihat, kepada Agni, Jingga seperti termehek-mehek.
"Jingga suka tuh sama lo." Ardan menyuarakan isi pikiran.
Dibalas sangat santai. "Mungkin dia pengin punya kakak perempuan."
Malas melanjutkan, Ardan memilih diam. Tapi tetap merasa aneh kenapa Jingga bisa sesuka itu dengan Agni. Padahal orangnya jutek sekali.
***
Selepas isya. Keributan jilid dua.
Kali ini bukan tikus, melainkan kucing tetangga yang mampir ke kos. Kalau sendirian tidak apa, ini membawa anakan ular kobra!
Jeritan lebih heboh dari kemarin. Penghuni lantai dua yang tidak lihat ularnya, ikutan menjerit.
Ardan masih mengenakan sarung, langsung lari dan sigap mengambil sapu di pojokan teras. Ana yang sejak tadi asyik mendongak melihat cicak di langit-langit teras, refleks mengikuti sang babu.
Emil yang baru pulang dari pabrik, urung berbelok ke rumah dan terbirit menghampiri Ardan yang berlari ke arah kos. Dia suka keributan, apalagi jika berasal dari kos milik Ardan. Jackpot tidak boleh dilewatkan!
Namun, selangkah sebelum gerbang, Emil spontan menjerit dan lompat-lompat. Dua kucing beda kasta, si Burik dan Anaconda—bukan itu masalahnya bukaaan! Tapi dua kucing itu sedang menyepak-nyepak anakan ular bak bola di lapangan. Emil tidak perlu berjongkok untuk bisa mengenali jenis ular apa itu. Tidak tahu mau lari ke mana, akhirnya dia nemplok di gerbang sambil gemetaran.
"D-daaaan, lo pelihara kobra sejak kapan?!"
Ardan menghela napas. Anak ular itu sempat menyelinap di saluran air depan kamar. Nyaris masuk ke salah satu kamar di lantai satu. Kebetulan banyak penghuni sudah pulang. Jadilah keributan lebih besar ketimbang perkara tikus kemarin. Ardan juga gentar meski ular itu masih kecil. Dia terus mengamati Burik dan Ana yang mengejar si ular. Berlari menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDAN √
Humor[slice of life/comedy-romance] Sejak sang Papa meninggal setahun yang lalu, Ardan mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Bandung dan karirnya yang sudah mapan. Dia pulang dan membantu Mama mengurus rumah kos dan adik-adik. Rencana awal memang...