Bagian Limapuluh Sembilan

6.2K 1.3K 125
                                    


"Gue taruh akuarium dulu, lo jangan langsung gas."

"Ya ampun, mau ngapain lagi? Gue udah bosen sama lo, Mil."

Mengabaikan kalimat Ardan yang terakhir. "Nongkrong samping rumah lo lah. Buat apa gue cuti kalau nggak ngerusuhin lo."

"Jalan kan bisa."

Mulai emosi. "Gue bilang tunggu ribet amat!"

"Deket banget, Emil."

"Apa susahnya sih nunggu?!"

"Ya udah cepetan ngemeng bae!"

Emil mendengkus lalu turun dari mobil.

Feeling Ardan tidak enak sejak pagi. Dia ingat hari ini dia ulang tahun dan hanya berharap sederhana ketika pagi tadi membuka mata; untuk sehari ini saja, hidupnya ingin tenang damai sentosa tanpa drama yang tidak perlu karena hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Tapi sepertinya susah terwujud.

Pagi-pagi dimulai dengan insiden gas bocor di kos lantai dua. Seperti dejavu, Ardan sepertinya sudah pernah menghadapi hal serupa. Jeritan satu orang mampu membuat semua penghuni serentak berhamburan dari bangunan kos. Dan untungnya tidak sampai terjadi hal buruk.

Siangnya, Jingga ribut dengan teman lesnya hanya karena mereka saling tidak terima pakai baju kembar tanpa sengaja dan berakhir mendapat siraman rohani dari Mama di rumah selama satu jam. Didit aman, semoga tetap begitu seterusnya, tidak perlu meniru tingkah kakak perempuannya. Ana juga terpantau di sana-sini masih menjadi keset bulu.

Sorenya, Emil rusuh minta ditemani cari akuarium. Mungkin sudah menuju tobat tidak memancing di comberan lagi. Setelah trauma panjang memelihara ikan dan selalu berakhir mati mengenaskan, akhirnya Emil berani pelihara lagi.

Agni?

Masih susah dihubungi. Semua chat yang Ardan kirim sejak kemarin hanya dibaca. Semua teleponnya juga tidak diangkat.

Emil kembali masuk ke mobil. Ardan melaju pulang.

"Gimana perasaan lo hari ini?"

"Nggak ada pertanyaan yang lebih najis lagi, Mil?"

"Oh, ada." Emil berdeham. "Gimana? Hatimu sudah merana akut, Bang?"

"Bacot."

"Kasar."

Ardan hendak membalas lagi tapi dia duluan heran melihat rumahnya yang gelap gulita. Sementara saat menoleh ke sekitar, listrik menyala normal seperti biasa.

Berpikir jika listrik di rumahnya ada masalah, Ardan mematikan mesin, turun dari mobil dengan tergesa. Emil juga mengikuti sahabatnya yang panik. Beruntung teras masih terlihat berkat cahaya dari lampu di gerbang kos. Tapi masih saja Emil sradak-sruduk menabrak pot besar. Dia mengaduh sambil mengangkat satu kakinya. Ngomel siapa yang menaruh pot di situ.

Ardan hanya menoleh, tidak menghentikan langkah.

"Ma? Mama?"

Bersamaan dengan pintu yang dia buka, temaram ruangan langsung menyambut. Ardan mengerjap, menyesuaikan mata dengan cahaya yang minim.

Tapi tiba-tiba ada satu nyala lilin yang hadir. Wajah Mama membayang di belakang cahaya lilin, memegang kue dengan kedua telapak tangan. Lampu ruang tamu menyala kemudian. Maka nampaklah pasukan yang berdiri di sekitar Mama. Ada Mbak Cici, adik-adiknya dan Geng Rusuh.

Detik berikutnya, mereka kompak bernyanyi.

"Happy birthday, Abang."

"Happy birthday, Abang."

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang