"Pada ngapain pagi-pagi?"
Jalan Agni terhalang oleh manusia-manusia yang mengintip dari celah gerbang. Ini bukan kejadian langka, dia tidak perlu bertanya seperti barusan untuk tahu apa yang mereka lakukan. Sudah jelas mereka sedang mengintip siapa. Jika biasanya Agni tidak peduli, sekarang rasanya dia ingin membuat mereka menyingkir dari gerbang dengan cara apa pun—kalau bisa dengan cara paling menyakitkan biar kapok.
Sasa menoleh di saat yang lain masih mengabaikan. Bertanya polos. "Kak Agni mau ikut ngintip?"
Ngapain dia ikut ngintip kalau bisa lebih dari itu? Agni maju, menyibak tubuh Dea dan Eriska, cuek menggeser gerbang tanpa bisa dicegah oleh Geng Rusuh. Yang pertama dia dapat adalah Ardan yang menoleh padanya. Sebelum lelaki itu menyapa, Agni sudah menyapa lebih dulu tanpa suara. "Pagiiiii." Diakhiri dengan senyum manis.
Ardan balas tersenyum lebar.
"ANJIRRRR, GUE DISENYUMIN BANG ARDAN!!!"
Agni langsung memutar tubuh, mengubah ekspresinya dengan cepat, menatap tajam Ajeng yang berdiri di belakangnya—di ambang gerbang yang terbuka. Yang ditatap tidak merasa, sibuk meleleh karena menyangka dapat senyuman Ardan.
Dia cemburu lagi? Tidak, tidak. Agni akan melompati fase itu dan memilih menjadi posesif. Melanggar prinsip? Yang ini demi kebaikan hatinya biar tenang. Jika tidak ada Geng Rusuh, dia tidak akan sebegininya. Masalahnya perempuan-perempuan centil ini pantang mundur sebelum Ardan benar-benar punya istri.
Meletakkan satu tangan di sisi gerbang, Agni sengaja menghalangi pandangan Geng Rusuh yang dihadiahi dengan tatapan sengit dari mereka. Wajah-wajah protes karena Agni merusak acara mereka dalam rangka mencari asupan vitamin.
"Nggak kerja kalian?" Nada suaranya agak ketus, berharap mereka terusik dan rela meninggalkan gerbang secara sukarela.
Namun, mereka tetap diam di tempat. Beberapa tersenyum mengejek Agni—seakan tahu jika Agni cemburu. Memang sekentara itu?
Sebuah suara terdengar tepat di atas lengan Agni yang memegang sisi gerbang. "Apa menariknya sih ngintipin gue cuci mobil?"
Agni sedikit terkesiap lalu berdeham. Menutupi keterkejutannya begitu sadar Ardan berdiri di dekatnya.
"Abang mau ngapain aja menarik kok, Bang."
Dehaman Agni berubah kencang. Tidak memberi kesempatan. "Gue mau tutup gerbangnya, awas tangan kalian." Tanpa mengindahkan protes Geng Rusuh, Agni menutup paksa gerbang. Demi menahan agar tidak dibuka lagi, Agni cepat-cepat menyandarkan punggung di muka gerbang.
Ardan geleng-geleng melihat kelakuan para anak kosnya. Termasuk kelakuan partner HTS-nya ini. Biasanya kalau Geng Rusuh mengintipnya mencuci mobil, Agni tidak pernah merecoki. Sekarang malah ikut campur tangan. Ardan senang-senang saja. Apalagi cukup menyenangkan melihat kilatan cemburu di mata Agni.
Ketika mendengar langkah kaki menjauh di belakangnya, memastikan mereka sudah pergi semua, Agni menyipitkan mata. "Apa? Seneng lo jadi pusat perhatian?"
Ardan mengangkat bahu, berbalik kembali ke mobilnya. "Siapa yang nggak suka?"
"Udah nyuci aja. Nggak usah nanggepin mereka."
"Iya, Yang."
"Ardan!"
"Iya, Sayang."
Agni ternganga. Panik melihat sekitar dan menilik ke celah gerbang di belakangnya. Bagaimana kalau ada yang dengar?!
Sebaliknya, Ardan justru terlihat santai. "Iya. Nih gue lanjut nyuci. Lo jagain di situ, begitu mereka ngintip lagi, banting aja. Lo kan bisa taekwondo."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDAN √
Humor[slice of life/comedy-romance] Sejak sang Papa meninggal setahun yang lalu, Ardan mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Bandung dan karirnya yang sudah mapan. Dia pulang dan membantu Mama mengurus rumah kos dan adik-adik. Rencana awal memang...