Suatu hari Mama pernah bilang;
"Kalau ada perempuan yang bisa angkat galon, terus bisa masang galon ke dispenser yang mesti dijungkir balik itu tanpa tumpah, kamu harus nikahin dia, Dan."
Baru saja Ardan melihat adegan itu dengan mata kepala sendiri. Apa dia mesti menikahi perempuan barbar ini? Ardan seketika menampar pipi sendiri sebelum pikirannya jauh berkelana.
"Udah beres ya?" Ardan berdiri di depan pintu kamar nomor lima.
Sasa menoleh, baru menyadari kedatangan Ardan. "Kayaknya Bang Ardan sibuk, jadi nggak berani manggil lagi. Ini kebetulan Mbak Agni lewat. Jadi sekalian."
"Oh." Ardan menggaruk rambut. "Sori tadi nggak sempat pasangin langsung."
"Nggak apa-apa, Bang."
Tanpa ingin tinggal lebih lama, Agni keluar dari kamar nomor lima setelah galon terpasang sempurna. Lewat persis di samping Ardan begitu saja. Terlihat lelah, baru pulang kerja sepertinya. Kalau sudah mode seperti itu, Ardan cukup tahu diri untuk tidak mengajak ribut.
Sasa yang mengerti hanya mendecak geli. Dia kemudian berseru, lupa bilang tadi. "Mbak Agni, makasih ya!"
Entah dijawab atau tidak, orangnya yang jelas sudah menaiki tangga.
"Dia kerja di berapa tempat sebenernya?" Setelah tidak terdengar suara langkah di tangga, Ardan bertanya.
"Setahuku, dua. Emang kenapa, Bang?" Sasa mengerutkan dahi. "Kalau pulang malam bukannya Bang Ardan jemput dia juga?"
"Kagak. Dia nggak pernah nitip pesen ke Mama minta jemput atau apa. Lagian, yang mau godain juga mikir kali, Sa. Dia kan bukan perempuan." Satu lagi tugas Ardan kalau malam, menjemput penghuni kos yang takut pulang malam karena ada sekelompok pemuda yang mabuk di gang sebelah.
"Aku nggak ngerti kenapa kalian nggak akur. Padahal Mbak Agni tuh baik, Bang. Ya emang kelihatan galak dan judes sih."
"Gue udah setahun kenal dia. Belum lihat tuh jenis kebaikan yang dia lakukan."
Sasa nyengir menunjuk dispenser.
"Ya kalau itu mah yang lain juga bisa."
"Iya, emang bisa, tapi tumpah. Mbak Agni sama sekali nggak tumpah lho, Bang."
... masang galon ke dispenser yang mesti dijungkir balik itu tanpa tumpah, kamu harus nikahin dia, Dan.
Mengacak rambut, Ardan berbalik pergi. Ingat jika toko tidak ada yang menjaga. Kedua adiknya belum pulang sekolah, jadi belum ada yang merusuh. Ana sedang main entah ke mana. Mama menonton televisi sambil mengobrol dengan Mbak Cici yang sedang menyetrika baju.
"Mas Ardan memang belum ada calon, Bu?"
Ardan hendak ke dapur mengambil minum, tapi terhenti di ambang pintu ruang tengah. Bukan bermaksud nguping, tapi telanjur dengar.
"Nggak tahulah, Ci. Aku sebahagia dia aja mau gimana."
"Anak perawan Pak RT sebelah kayaknya naksir Mas Ardan, Bu."
Tertawa. "Anakku memang ganteng, wajib ditaksir."
"Ibu mah gitu."
"Anaknya aja santai kok, Ci. Aku nggak mau maksa-maksa. Umurnya juga belum tiga puluh. Biarin dia bantu aku jaga adik-adiknya dulu."
"Iya bener, Bu. Semenjak Mas Ardan di rumah, Mbak Jingga sama Didit jadi beda."
"Beda gimana?"
"Maaf nih, Bu. Dulu pas Bapak masih ada, mereka nggak bisa jadi diri sendiri. Saya sempat takut kalau mereka tertekan. Maaf, Bu, saya lancang bicara gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
ARDAN √
فكاهة[slice of life/comedy-romance] Sejak sang Papa meninggal setahun yang lalu, Ardan mengambil keputusan besar untuk meninggalkan Bandung dan karirnya yang sudah mapan. Dia pulang dan membantu Mama mengurus rumah kos dan adik-adik. Rencana awal memang...